N.E. Brutsen dalam bukunya, Tarikh Libya Fi Al Ashri Al Hadits: Muntashif Al Qurn Al Sadisa Al Ashara-Mathla’i Al Isyrin, meriwayatkan peristiwa yang terjadi pada abad ke-19. Saat itu, imperium Turki Ottoman (selanjutnya disingkat TO) mulai rapuh. Daulah Islam terakhir di dunia itu tidak mampu membendung arus ekspansi Barat. Penyebab melemahnya TO, menurut para tokoh muslim kala itu, adalah akibat kemunduran ekonomi di dunia Islam, selain kemerosotan pada bidang budaya karena pembesar-pembesar Turki bermental dan moral bejat serta mendewakan gaya hidup hedonis.
Hal ini mengundang keprihatinan sebagian tokoh-tokoh muslim. Antara lain, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Ajakan mereka merekonstruksi Islam (islah al Islam) mendapat respons positif dari dunia Islam. Maka, dengan cepat gemanya menyebar ke mana-mana. Di antara isi seruan tersebut mengajak umat Islam untuk menata kembali perekonomian, pengetahuan, dan keilmuan serta wawasan dan meninggalkan kejumudan berpikir. Berada di belahan wilayah TO nun jauh (dari kedua tokoh tersebut) lahir sebuah gerakan tarekat bernama Tarekat Sanusiyah yang dibidani oleh Syaikh Muhammad Ali As-Sanusi. Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa, melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1837.
Syaikh Ali As-Sanusi dilahirkan di Mostaganem, Aljazair, pada tahun 1787. Syaikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Oleh karena itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan keruhanian. Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Tersebar luas hingga ke Selatan Afrika, Sudan, Somalia dan sebahagian negara Arab. Gerakan ini terpengaruh oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, dan Abu Hamid al-Ghazali. Dalam berdakwah kepada Allah, gerakan ini menggunakan cara lembut dan berhikmah. Mereka menekankan dalam kerja-kerja tangan dan senantiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah, Salibi dan sebagainya.
Syaikh Ali As-Sanusi mendalami tasawuf di Marokes, Maroko. Ia tidak hanya pakar agama, dalam memimpin (leadership) pun jagonya. Saat TO membentuk tim pergerakan renaissance Eropa, Syaikh Ali As-Sanusi adalah salah satu orang anggotanya. Namun, tidak jelas latar penyebabnya tiba-tiba tarekat yang ia pimpin menjadi oposisi utama TO. Berbekal kemampuannya memimpin, Syaikh Ali As-Sanusi menyebarkan terekatnya sampai membentang ke timur masuk ke Mesir. Di selatan pengikutnya tersebar di Sudan dan Chad. Pengikut Sanusiyah juga berada di Aljazair dan Tunisia. Dengan modal berbahasa Inggris di Sudan dan Prancis di Chad, Syaikh Ali As-Sanusi melanjutkan misinya memasuki wilayah Koufra pada rute Karavan, antara Wadai dan Benghazi, sejak tahun 1894.
Secara riil misi gerakan ini adalah memurnikan kembali ajaran Islam ke doktrin yang murni dan mendirikan negara Islam. Namun, isu-isu yang dilontarkan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani menghambat penyebaran tarekat Sanusiyah. Sebab, menurut Nicola Ziyadah, ”Seruan mereka berdua lebih modern dari pada gerakan tarekat Sanusiyah dan gagasan-gagasannya juga lebih komprehensif, maka lebih mudah diterima oleh masyarakat Arab.” Selain itu, masih menurut Nicola, gagasan mereka sesuai dengan konteks dan memiliki korelasi yang kuat dengan pemikiran masyarakat Arab.
Meskipun demikian, penduduk Tripoli tetap menjadi pengikut setia tarekat Sanusiyah. Apalagi setelah tokoh perjuangan Libya yang melegenda, Omar Al-Mukhtar, menjadi pengikut fanatik sekte sufi ini. Bergabungnya Al-Mukhtar menjadi udara segar. Ia seorang pejuang yang mampu membuat pasukan Italia terserang ”migren.” Lion of the Desert dari Libya itu bagi Italia adalah duri dalam daging. Kemampuan diplomasinya yang luar biasa mampu menyatukan suku-suku Libya yang sejak lama terkotak-kotak akibat termakan fitnah Italia yang memecah-belah suku. The International Magazine on Arab Affair Special Report mencatat peran anggota Sanusiyah nan perkasa itu, ”Bagi tentara Italia yang jauh lebih kuat persenjataan, para pejuang Libya barangkali hanyalah sekelompok orang bersenjata tidak berarti. Namun, dibawah pimpinan Omar Al Mukhtar, para pejuang itu membuat Italia berperang tanpa akhir di padang pasir. Mereka datang bagaikan burung Ababil ketika membuat tentara Abraham porak-poranda saat menyerang Kabah.” Al Mukhtar tetaplah Al Mukhtar, seonggok daging sama seperti manusia yang lain. Setangguh apapun ia, kematian pasti mampir jua. Persenjataan yang tidak seimbang cukup sebagai alasan untuk membuat para pejuang Libya ”kelelahan.” Al Mukhtar tertangkap di padang Koufra. Kemudian, dihukum gantung di hadapan pengikutnya pada 1932.
Akan tetapi, jika prediksi Italia digantungnya pengikut fanatik tarekat Sanusiyah ini akan memadamkan gerakan anggotanya yang lain, maka prediksi tersebut salah besar. Justru kesyahidannya membakar generasi muda Libya untuk bisa mewujudkan harapan bersama: Libya harus merdeka.
Pada 31 Januari 1942, anak-anak muda Libya yang sedang study di Kairo mendeklarasikan Jam’iyyah Omar Al Mukhtar dengan misi: mencapai kemerdekaan Libya (Izzuddin Abdussalam, Tarikh Libya Al Muashir Al Siasi Wa Al Ijtimai). Akhirnya, perjuangan tarekat Sanusiyah mendirikan negara independen terwujud pasca-Perang Dunia ke II atas bantuan Inggris dan Soviet dan mendapatkan pengakuan dari PBB. Dan salah seorang cucu pendiri tarekat ini, Idris Sanusi, diangkat sebagai raja Libya pertama pada tahun 1952 dengan nama Raja Idris I.
Demikianlah sekilas tentang peran tarekat sufi (Sanusiyah) bagi kebangkitan nasional (Libya). Mulai saat menjadi oposisi dinasti Utsmaniyyah sampai menyingkirkan penjajah Italia, dan menjadi orang nomor satu di Libya. Walaupun umur pemerintahannya seumur jagung saja. Setelah salah seorang perwira muda, Moammar Khadafy, yang baru pulang dari Inggris melakukan revolusi tidak berdarah (1969), dinasti (tarekat) Sanusiyah berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar