Senin, 07 Desember 2015

MEMBUKA TABIR AQIDAH





























A. Ilmu Tasawuf Menurut Imam Asy-Syafi'i

Beberapa pihak yang tidak suka mengenai tasawuf, umumnya orang-orang Wahhabi, kerap kali melakukan penipuan dan pemelintiran mengenai pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengenai tasawuf. Padahal faktwanya, Imam Syafi’i banyak memuji ahli tasawuf (sufi), bahkan menganjurkan umat Islam untuk menjalani tasawuf. 

Salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’i yang sering disalah pahami adalah apa yang disebutkan oleh Imam al-Baihaqi didalam Manaqib Imam al-Syafi’i. Pembenci tasawuf, bahkan dengan sengaja mengutip dalam kitab Imam al-Baihaqi secara tidak utuh demi menyembunyikan kebenaran dan mengedepankan hawa nafsu syaithoniyah. Komentar Imam al-Syafi’i dalam kitab Imam Al Baihaqi tersebut adalah : “Kalau seorang menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu”.

1. Berikut penjelasan lengkap beserta sanadnya dalam kitab Manaqib al-Syafi’i lil-Imam Al Baihaqi :
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Abdillah al Hafizh, berkata: Aku telah mendengan Abu Muhammad; Ja’far ibn Muhammad al Harits berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah al Husain ibn Muhammad ibn Bahr, berkata: Aku telah mendengar Yunus ibn Abd al A’la berkata: Aku telah mendengar asy Syafi’i berkata: “Jika ada seseorang bertasawwuf di pagi hari maka sebelum datang zhuhur aku sudah mendapatinya telah menjadi orang dungu”. Dan telah memeberitakan kepada kami Abu Abdurrahman as Sullami, berkata: Aku telah mendengarJa’far ibn Muhammad al Maraghi, berkata: Aku telah mendengar al Husain ibn Bahr, berkata: (lalu mengatakan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i di atas).
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad ibn Abdullah, berkata: Aku telah mendengar Abu Zur’ah ar Razi, berkata: Aku telah mendengar Ahmad ibn Muhammad ibn as Sindi, berkata: Aku telah mendengar ar Rabi’ ibn Sulaiman, berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang -yang bernar-benar- sufi kecuali Muslim al Khawwash”.
Aku (Al-Bayhaqi) katakan: “Sesungguhnya yang dimaksud -oleh Imam Syafi’i-: adalah orang yang masuk dalam kalangan sufi yang hanya mencukupkan dengan “nama” saja sementara dia tidak paham makna intinya, dia hanya mementingkan catatan tanpa mendalami hakekatnya, hanya duduk dan tidak mau berusaha, ia menyerahkan biaya hidup dirinya ke tangan orang-orang Islam, dia tidak peduli dengan orang-orang Islam tersebut, tidak pernah menyibukan diri dengan mencari ilmu dan ibadah, sebagaimana maksud ucapan Imam Syafi’i ini ia ungkapkan dalam riwayat lainnya”, yaitu riwayat yang telah dikhabarkan kepada kami oleh Abu Abdirrahman al-Sullami, berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah ar Razi berkata: Aku telah mendengar Ibrahim ibn al Mawlid berkata dalam meriwayatkan perkataan asy Syafi’i: “Seseorang tidak akan menjadi sufi hingga terkumpul pada dirinya empat perkara; pemalas, tukang makan, tukang tidur, dan tukang berlebihan”. Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam mu’amalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.
… telah mengabarkan kepada kami Abu Abdirrahman al-Sullami, berkata: aku mendengar Abdullah bin al-Husain Ibnu Musa al-Sullami, mengatakan: aku mendengar Ali bin Ahmad, mengatakan: aku mendengar Ayyub bin Sulaiman, mengatakan: aku mendengarkan Muhammad bin Muhammad bin Idris al-Syafi’i mengatakan: aku mendengarkan ayahku mengatakan: “Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat)”.


     

2. Ibnul Qayyim all-Jauziyyah mengutip ucapan Imam al-Syafi’i didalam kitabnya “:
قال الشافعي رضي الله عنه : صحبت الصوفية فما انتفعت منهم إلا بكلمتين سمعتهم يقولون الوقت سيف فإن قطعته وإلا قطعك ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل . قلت – أي ابن القيم – : يا لهما من كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم “Imam Syafi’i berkata ” Aku berteman dgn kaum shufi dan tidaklah aku mendapat MANFA’AT dari mereka kecuali dua kalimat yang aku dengar dari mereka yaitu ” Waktu itu adalah pedang jika kamu mampu memutusnya, jika tidak maka waktu itu yang akan memutusmu. Dan nafsumu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka akan disibukkan dgn kebathilan “. Aku katakan (Ibnul qoyyim) : ” Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tsb dan sangat menunjukkan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran org yang mengatakan dua kalimat tsb, dan cukuplah hal ini sebagai pujian imam Syafi’i pada mereka…” (Madarij As-Salikin juz 3 hal; 129).

3. Imam Syafi’i didalam kitab Diwannnya :
فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
“Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu. # Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “. (Diwan imam Syafi’i halaman : 19).
4. Imam As Syafi’i Memuji Ulama Sufi:
Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164).








B. Bacaan Pahala Al-Qur'an Menurut Ibnu Tammiyah


BOLEHNYA MENGHIBAHKAN PAHALA PEMBACAAN AL-QUR’AN & SEDEKAH UNTUK MAYIT, SERTA SAMPAINYA PAHALA PEMBACAAN AL-QUR’AN DAN AMAL-AMAL BAIK UNTUK MAYIT.

Sampainya pahala pembacaan al-qur’an kepada mayit tergolong masalah cabang yang diperselisihkan. Berdasarkan keadaannya sebagai cabang yang diperselisihkan, maka tidak boleh mentorehkan jejak-jejak fitnah, perdebatan, dan keingkaran atas orang yang berkata dan mengamalkan masalah ini, serta tidak juga bagi orang yang menyelisihi. Tidak sepatutnya hal itu terjadi antara 2 kubu tersebut, apa yang tidak patut terjadi antara 2 saudara sesame muslim.


Sungguh meskipun bagi orang yang melarang tersebut mempunyai referensi, dan pada selain dirinya-pun mempunyai referensi juga seperti dirinya. Sungguh Syekh Ibnu Taimiyyah berkata : “Bahwa mayit dapat mengambil manfaat pembacaan al-qur’an sebagaimana mayit mengambil manfaat dengan ibadah maaliyah yang berasal dari sedekah dan semacamnya.


Syekh Ibnul Qoyyim berkata dalam kitab ‘ar-ruh’ : “Yang lebih utama dari sesuatu yang dihadiahkan kepada mayit itu adalah sedekah, istighfar, mendo’akannya, dan haji untuk dirinya yang berasal dari orang lain. Adapun, membacak al-qur’an dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mayit merupakan sedekah tathowwu’ yang bukan hasil usaha. Maka, pahala dari pembacaan al-qur’an ini dapat sampai kepada mayit sebagaimana pahala puasa dan haji sampai kepada mayit.



Syekh Ibnul Qoyyim juga berkata pada tempat yang lain dari kitabnya tersebut : “Yang lebih utama, hendaknya si pembaca berniat ketika mengerjakannya bahwa pahala pembacaan al-qur’an ini untuk mayit. Akan tetapi, tidak disyaratkan melafazkan niat tersebut. Demikianlah, apa yang telah dikatakan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah dan Syekh Ibnul Qoyyim sebagaimana telah menukil dari keduanya Allaamah Syekh Hasanain Muhammad Makhluf, mufti Negara Mesir, dahulu.

Kemudian, Allaamah Syekh Hasanain Muhammad Makhluf berkata : “Ulama Hanafi sepekat bahwa setiap orang yang mengerjakan ibadah dari macam-macam kebaikan miliknya, kemudian dia menjadikan pahala macam-macam kebaikkan tersebut untuk selain dirinya maka pahala tersebut sampai kepada orang yang dimaksud.”

Tambahan dari al-faqir (H. Ahmad Subki Masyhudi) : “Imam Al-Muhib At-Thobariy telah meriwayatkan bahwa setiap ibadah yang dikerjakan dari orang lain baik yang wajib maupun mandub itu sampai kepada mayit.”


(Faedah) : Yang tergolong sholat sunnah adalah 2 raka’at untuk jiwa yang berada di dalam kubur (Nihayatul Zain, 107) diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa Beliau SAW bersabda : “Tidaklah suatu perkara menimpah atas mayit, yang lebih dahsyat dari malam pertama. Maka, kasih sayangilah dengan bersedekah untuk orang yang telah tiada! Barang siapa tidak mempunyai sesuatu untuk bersedekah, maka hendaknya dia sholat 2 raka’at. Dia membaca dalam 2 raka’at tersebut yakni masing-masing 1 raka’atnya, Fatihatul kitab, Ayat Kursi, Al-hakumut Takaatsur, dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak 10 kali. Kemudian, dia berdo’a setelah salam. "Ya Allah, Sesungguhnya aku telah mengerjakan sholat ini, dan Engkau mengetahui apa yang aku inginkan. Ya Allah, sampaikanlah pahalanya ke kubur fulan bin fulan. Lalu, Allah Ta’ala mengutus 1000 Malaikat untuk menyampaikan pahala orang tersebut ke kubur orang yang dimaksud pada saat itu juga. Setiap malaikat membawa cahaya dan hadiah. Para malaikat berlemah lembut kepada si mayit sampai hari ditiup terompet.”


Kemudian, Syekh Ali Maksum berkata : “Dalam Fathul Qodir diriwayatkan dari Imam Ali karramallahu wajhah dari Nabi SAW. Bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda : ‘Barang siapa yang melewati pemakaman, lalu membaca Qul Huwallahu Ahad sebanyak 11 kali. Kemudian, Dia menghibahkan pahalanya untuk orang-orang mati, maka dirinya akan diganjar pahala sebanyak orang-orang yang telah tiada.”


Dari Sayyidina Anas ra., bahwa Nabi SAW ditanya. Maka, orang yang bertanya berkata kepada Nabi SAW : Wahai Rasulullah, Sesungguhnya kami telah bersedekah untuk orang-orang telah tiada dari kami, kami berhaji untuk mereka, dan kami berdo’a untuk mereka. apakah semua itu sampai kepada mereka?” Nabi SAW menjawab : “Ya, sungguh semua itu sampai kepada mereka. Sesungguhnya mereka bergembira dengan hal tersebut. Sebagaimana seseorang di antara kalian bergembira dengan senampan hadiah. Apabila dihadiahkan kepada mereka.”


Tambahan dari al-faqir : dalam kitab Washiyatul Musthofa, : “Wahai Ali, bersedekahlah untuk orang yang telah tiada dari engkau. Sesungguhnya Allah Ta’ala sungguh telah mewakilkan para malaikat membawa sedekah-sedekah dari orang-orang hidup untuk orang-orang yang telah tiada. Mereka bergembira dengan sedekah-sedekah itu dan mereka lebih bergembira dari apa yang membuat bergembira di dunia dahulu (waktu mereka hidup). Mereka berdo’a : ‘Ya Allah, ampunilah orang yang telah menerangi kubur kami dan gembirakanlah dirinya dengan sorga sebagaimana dia menggembirakan kami dengan sedekah-sedekah darinya.”


Kemudian, Syekh Ali Maksum rhml. berkata : “Madzab Imam Syafi’i, bahwa sedekah itu pahalanya sampai kepada mayit berdasarkan kesepakatan ulama. Adapun, membaca Al-Qur’an untuk mayit, maka pendapat yang terpilih sebagaimana dalam syarah minhaj : pahalanya sampai kepada mayit. Seyogyanya dia menguatkan perbuatan tersebut untuk mayit. Karena sesungguhnya hal tersebut do’a.”


Madzab Imam Malik : “Tidak ada perbedaan pendapat sampainya pahala sedekah kepada mayit. Kemudian, diperselisihkan boleh sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an kepada mayit. Karena asal istinbath hukum madzab Imam Malik memakhruhkan perbuatan tersebut. Ulama-ulama yang datang kemudian dari madzab Imam Malik menyepakati boleh sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an kepada mayit yakni hal tersebut adalah amal yang mengalir kepada mayit. Maka, sampainya pahala perbuatan tersebut kepada mayit.” Imam Ibnu Farhun telah menukil hal tersebut : Pendapat inilah yang kuat.


Dalam kitab Majmu’ milik Imam Nawawi Al-Qodhi Abu at-Thoyyib ditanya tentang khataman Al-Qur’an di pemakaman. Al-Qodhi Abu at-Thoyyib berfatwa : “Pahalanya untuk orang yang membaca, sedangkan mayit seperti orang-orang yang hadir yang diharapkan baginya rahmat dan berkah, dan disunnahkan pembacaan Al-Qur’an di pemakaman untuk pengertian ini, serta juga do’a setelah membaca al-Qur’an lebih dekat untuk diijabah. Karena, do’a dapat member manfaat kepada mayit.” Imam Nawawi telah menukil dalam kitab al-Adzkaar, dari sekelompok dari murid-murid Imam Syafi’i, bahwa pahala membaca al-Qur’an sampai kepada mayit, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok dari para ulama telah menyetujuinya. Dari as-syekh al-mufti Al-Qodhi Abu at-Thoyyib.


Dalam kitab al-Mizaanul Kubro milik Imam as-Sya’roni : “Perbedaan pendapat tentang sampainya pahala pembacaan al-Qur’an untuk mayit atau meniadakan sampainya pahala tersebut untuk mayit itu sudah masyhur (sudah terkenal di kalangan para ulama terdahulu), dan masing-masing dari 2 kubu tersebut mempunyai pendapat. Sesungguhnya bagi manusia dapat menjadikan pahala amalnya untuk orang lain. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat dengannya. (al-Mizaanul Kubro akhir kitab Janaiz).


Tambahan dari al-faqir bahwa Muhammad anak Ahmad al-Marwaziy berkata : Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Apabila kalian memasuki pemakaman maka becalah al-faathihatul kitab, al-ikhlash, dan al-mu’awwidzatain. Kemudian, jadikanlah pahala bacaanmu itu untuk penghuni kubur. Karena sesungguhnya pahala bacaan kalian sampai kepada mereka semua. Maka, orang yang membaca tadi hendaknya mengusahakan setelah selesai dari bacaannya berkata : ‘Ya … Allah sampaikanlah pahala apa yang telah aku baca untuk si fulan”.


Dalam kitab Majmu Tsalatsa Rasaa’il milik Al-‘Allaamah Muhammad Al-‘Arobiy : “Sesungguhnya pembacaan al-qur’an atas orang-orang beriman yang telah tiada itu hukumnya boleh. Pahalanya akan sampai kepada mereka semua menurut pendapat jumhur pakar fiqh Islam ahlus sunnah. Meskipun, hal tersebut berdasarkan pahala yang dipertegaskan.


Dari Sayyidina Abu Hurairoh ra., Beliau ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa memasuki pemakaman, kemudian dia membaca Faatihatul kitab, Qul Huwallahu Ahad, dan Al-Haakumut Takaatsur, lalu dia memohon kepada Allah Ta’ala : ‘Ya … Allah, Sesungguhnya aku menjadikan apa yang telah aku baca dari firman-Mu untuk penghuni kubur dari golongan laki-laki yang beriman dan golongan perempuan yang beriman. Mereka semua akan menjadi pemberi syafa’ati baginya di sisi Allah Ta’ala.” (Syarah Shudur) Wallahu ‘Alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar