A. Siapakah orang yang pertama menyambut maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
“Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul
Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang
yang berani, pahlawan,` alim dan seorang yang adil -semoga Allah
merahmatinya-”
.
.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa
dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzhaffar mengundang seluruh
rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik
ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu
kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari,
sebelum hari pelaksanaan maulid Nabi Saw beliau telah melakukan berbagai
persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para
hadirin (tamu) yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi Saw tersebut. Segenap
para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh
Sultan al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandang dan menganggap
baik perayaan maulid Nabi Saw yang dibuat untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahwa al-Imam
al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Moroco menuju Syam dan seterusnya
menuju Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah, beliau
mendapati Sultan al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar
perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh kerana itu, al-Hafzih
Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi
judul “al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian
beliau hadiahkan kepada Sultan al-Muzhaffar. Para ulama’,
semenjak zaman Sultan al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai
sekarang ini menganggap bahawa perayaan maulid Nabi Saw adalah sesuatu yang
baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan
demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H),
al-Hafizh al-’Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani (W. 852
H), al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh aL-Sakhawi (W. 902 H),
SyeIkh Ibn Hajar al-Haitami (W. 974 H), al-Imam al-Nawawi (W. 676 H),
al-Imam al-`Izz ibn `Abd al-Salam (W. 660 H), mantan mufti Mesir iaitu
Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut
Lubnan iaitu Syeikh Mushthafa Naja (W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi
para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan al-Imam al-Suyuthi menulis karya
khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”.
Karena itu perayaan maulid Nabi Saw, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul
Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa
dan dalam setiap generasi ke generasi.
B. Hukum Peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam yang
dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan
sebagian sifat-sifat Nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh
dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan
tersebut terhindar dari bid`ah-bid`ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi Saw mulai
dilakukan pada permulaan abad ke 7 Hijrah. Ini berarti perbuatan ini
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, para
sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan
Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Kerana segala sesuatu yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam atau
tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan
dengan ajaran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam sendiri. Para ulama’
menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sebagian daripada Amali Hasanah (amal yang baik). Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi Saw ini
merupakan perkara baru tetapi ia selari dengan al-Qur’an dan
hadist-hadist Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
C. Dalil-Dalil mengenai Peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadist Nabi Saw, untuk membuat
sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari`at Islam.
Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”. (HR. Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”. (HR. Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Faedah daripada Hadist tersebut:
1. Hadist ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ ummat Nabi Muhammad
sallallahu`alaihi wasallam untuk melakukan perkara-perkara baru yang
baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Athar
(peninggalan) maupun Ijma` ulama’. Peringatan maulid Nabi Saw adalah
perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di
antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh,
bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang
mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti ia telah mempersempit/kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya Bid`ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid`ah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim
di dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba
di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa
mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan
Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah
karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah sallallahu`alaihi
wasallam bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”. Lalu Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.
Faedah daripada Hadist tersebut:
Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadist ini ialah bahwa
sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada
hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari
tersebut. Sama ada melakukan perbuatan bersyukur karena memperoleh
nikmat atau karena diselamatkan dari bahaya. Kemudian perbuatan syukur
tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur
kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah,
seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan
sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam
adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?!
Adakah nikmat
yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul
Awwal ini?! Adakah nikmat dan kurniaan yang lebih agung daripada pada
kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?!
Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar
al-`Asqalani.
4. Hadits Riwayat Al-Imam Muslim di dalam kitab
Shahihnya. Bahwa Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ketika ditanya
mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim).
Faedah daripada Hadist tersebut:
Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam
melakukan puasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa
pada hari itu baginda nabi dilahirkan. Ini adalah isyarat daripada Rasulullah
sallallahu`alaihi wasallam, artinya jika baginda nabi berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda nabi sendiri pada
hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal
kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tersebut untuk kita
melakukan perbuatan bersyukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca
kisah kelahiran baginda nabi terdahulu, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan
lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulangi setiap
minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya.
Dan karena hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam masih
diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada
harinya-, maka boleh saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau
10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah
bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun,
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh al-Hafizh al-Sakhawi seperti yang
akan dinyatakan di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama’ Ahil al-Sunnah Wa al-Jama`ah:
1. Fatwa al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi
al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani. Beliau menyatakan
seperti berikut:
Artinya: “Asal peringatan maulid adalah amal yang belum pernah dinukikan daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah amali hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Sahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Suyuthi. Beliau mengatakan di dalam
risalahnya “Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan
seperti berikut:
Artinya: “Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadist-hadist tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan/dihidangi, lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk amali hasanah (amal yang baik) yang melakukannya akan memperoleh pahala. Karena perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami` al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:
Artinya: “Peringatan Maulid Nabi belum
pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang
hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu
di kemudian hari. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar
sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi Saw pada bulan kelahiran
Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan
diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya,
mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan
kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih
daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku
maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan
ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan:
“Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam
tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya
tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu
malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan
pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan
merenungkannya dengan hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui
bahwa sebenarnya sikap “BENCI” yang timbul daripada sebagian golongan kecil
yang mengharamkan dan membid'ahkan Maulid Nabi Saw, tidak lain hanya didasari kepada hawa
nafsu semata-mata. Orang-orang seperti itu sama sekali tidak
mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang saleh terdahulu. Di antara
pernyataan mereka yang sangat menghinakan ialah bahwa mereka seringkali
menyamakan peringatan maulid Nabi Saw ini dengan perayaan hari Natal yang
dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka,
karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu
dan tanpa segan sama sekali mereka kaum Salafi berkata:
Artinya: “Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Golongan yang anti maulid seperti WAHHABI-SALAFI menganggap bahwa perbuatan itu adalah
bid`ah seperti menyambut Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati
syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar
dosanya daripada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak
mengandungi unsur syirik (kekufuran).
Jawab: "Na`uzu
Billah… Sesungguhnya sangat kotor dan jahat perkataan orang seperti ini.
Bagaimana ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali
mengatakan peringatan Maulid Nabi, yang telah dipersetujui oleh para
ulama’ dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik
oleh para ulama’-ulama’ ahli hadist dan lainnya, dengan perkataan buruk
seperti itu?!
Orang seperti ini benar-benar tidak mengetahui
kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah mencapai
derjat seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani, al-Hafizh al-Suyuthi
atau al-Hafizh al-Sakhawi atau mereka merasa lebih `alim dari
ulama’-ulama’ tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi
yang telah nyata dan tegas hukumnya haram di dalam al-Qur’an, lalu ia
samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur
pengharamannya dari nash-nash syari’at agama?! Ini berarti, bahwa
golongan seperti mereka yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui
Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum). Mereka tidak mengetahui
mana yang Haram dan mana yang Mubah (harus), mana yang haram dengan nash
(dalil al-Qur’an) dan mana yang haram dengan istinbath (mengeluarkan
hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama sekali tidak layak
untuk diikuti dan dijadikan ikatan dalam mengamalkan agama ISLAM ini.
D. Pembacaan Kitab-kitab Maulid Nabi Saw.
1. Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi Saw adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Al-Hafizh al-Sakhawi menyatakan seperti berikut:
Artinya: “Adapun pembacaan kisah
kelahiran Nabi maka sepatutnya yang dibaca itu hanya yang disebutkan
oleh para ulama’ ahli hadist di dalam kitab-kitab mereka yang khusus
menceritakan tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy
karangan al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di
Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja-
tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandungi tentang
kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il al-Nubuwwah karangan al-Baihaqi.
Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudhah Nabi.
Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah
riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus
mengeluarkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak
layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justeru
sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan
melarangnya untuk dibaca. Padahal sebenarnya tidak boleh ada pembacaan
kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca
beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan
bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan
syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud (tidak loba kepada dunia),
mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kesesatan fahaman WAHHABI-SALAFI yang Anti Maulid dan Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi Saw berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga
tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu
merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam
melakukannya”.
Jawab: Baik, Rasulullah sallallahu`alaihi
wasallam tidak melakukannya, adakah baginda melarangnya? Perkara yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak semestinya menjadi sesuatu yang
haram. Tetapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata
dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam.
Disebabkan itu Allah ta`ala berfirman:
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr ayat 7).
Dalam firman Allah ta`ala di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian, maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang
ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini Berarti bahwa
perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh
Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tetapi bukan sesuatu yang
ditinggalkannya. Sesuatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan
alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam.
Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil atau Nash yang melarang dan
mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: “Apakah
untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh (harus) atau sunnah, harus ada
nash daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam secara langsung yang
khusus menjelaskannya?”
Apakah untuk mengetahui boleh (harus)
atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus daripada Rasulullah
sallallahu`alaihi wasallam yang menyatakan tentang maulid itu sendiri?!
Bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan atau melakukan segala sesuatu
secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah
nash-nash syari`at, baik ayat-ayat Al-Qur’an mahpun hadist-hadist nabi,
itu semua terbatas, maksudnya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal
peristiwa-peristiwa baru akan terus muncul dan selalu bertambah?! Jika
setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah secara langsung, lalu
dimanakah kedudukan ijtihad (hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid
berpandukan al-Quran dan al-Hadist) dan apakah fungsi ayat-ayat al-Quran
atau hadist-hadist yang memberikan pemahaman umum?! Misalnya firman
Allah ta`ala:
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung”. (QS. al-Hajj ayat 77)
Adakah setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh
Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam supaya ia dihukumkan bahwa
kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak sedemikian. Dalam
masalah ini Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam hanya memberikan
kaedah-kaedah atau garis panduan saja. Karena itulah dalam setiap
pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebutkan dengan Jawami`
al-Kalim artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat
kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadist shahih:
Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan (merintis perkara baru) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya).
Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan (merintis perkara baru) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya).
Dan di dalam hadist shahih yang lainnya, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. al-Imam Muslim).
Dalam hadist ini, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam menegaskan
bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan
daripada sebagian syari`atnya”. pengertiannya, sesuatu yang baru yang
tertolak adalah yang menyalahi syari`at Islam itu sendiri. Inilah yang
dimaksudkan dengan sabda Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam di dalam
hadist di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya, maka
perkara tersebut pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka
Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, akan tetapi mungkin akan
berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai`an Fa Huwa Mardud” : (Siapapun
yang merintis perkara baru dalam agama kita ini, maka ia pasti
tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini
bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di atas
sebelumnya. Iaitu hadith: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan….”.
Padahal hadist yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim ini mengandungi
isyarat anjuran bagi kita untuk membuat sesuatu perkara yang baru, yang
baik, dan yang berlainan dengan syari`at Islam. Dengan demikian tidak semua
perkara yang baru itu adalah sesat dan ia tertolak. Namun setiap
perkara baru harus dicari hukumnya dengan melihat persesuaiannya dengan
dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara`. Bila sesuai maka boleh dilakukan,
dan jika ia menyalahi, maka tentu ia tidak boleh dilakukan. Karena
itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan seperti berikut:
Artinya: “Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah (yang dicela) menurut tahqiq (penelitian) para ulama’ adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara`, berarti ia termasuk bid`ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara` maka berarti termasuk bid’ah yang buruk (yang dicela)”.
Bolehkah dengan keagungan Islam dan kelonggaran kaedah-kaedahnya, jika dikatakan bahwa setiap perkara baharu itu adalah sesat?
2. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata:
“Peringatan maulid itu sering dimasuki oleh perkara-perkara haram dan maksiat”.
“Peringatan maulid itu sering dimasuki oleh perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab: Apakah karena alasan tersebut lantas
peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya, Apakah
seseorang itu haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar
banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat,
menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian.
Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada
kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara yang diharamkan kedalam pelaksanaannya,
maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan
memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri.
Kerana itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani telah menyatakan bahawa:
Artinya: “Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukil dari
kaum al-Salaf al-Saleh pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian
peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya. Barangsiapa dalam
memperingati maulid serta berusaha melakukan hal-hal yang baik saja
dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah
bid`ah hasanah”.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar.
Hal itu adalah perbuatan mumbazir. Mengapa tidak digunakan saja
untuk keperluan ummat yang lebih penting?”.
Jawab: Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah… Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama’ disebutnya sebagai mumbazir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah
melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan mumbazir?! Mengapa
orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann)
terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk
mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?!
Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak
ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan
Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah
sallallahu`alaihi wasallam dalam berdakwah sehingga membangkitkan
semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan baginda Nabi?!
Bukankah peringatan Maulid Nabi itu telah membuat dan menanamkan kecintaan kita kepada Rasulullah
sallallahu`alaihi wasallam dan menjadikan kita banyak bersholawat kepada
baginda Nabi?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar seperti ini bagi orang
yang beriman tidak boleh diukur dengan harta.
3. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah membangkitkan semangat ummat
untuk berjihad. Itu berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan
dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh
karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab: Kenyataan
seperti ini sangat pelik. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa
orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan
Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth
Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan
lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan sultan
Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin
al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “fitnah
yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin
membuat maulid untuk tujuan membangkitkan semangat umat untuk berjihad
dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini
berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat lagi menyesatkan. Tujuan mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid,
atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu menyambutnya. Kita
katakan kepada mereka: Apakah jika orang yang hendak berjuang harus
bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka
yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja?
Dan apakah di dalam berjuang harus mengikuti cara dan strategi Sultan
Shalahuddin saja, dan jika tidak, ia berarti tidak dipanggil berjuang
namanya?! Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian
mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk
kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh,
istighatsah (meminta pertolongan) boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul
(memohon doa agar didatangkan kebaikan), tetapi kemudiannya terhadap
orang lain, mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli
sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun daripada
mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk
membangkitkan semangat ummat untuk berjihad di dalam perang di jalan
Allah. Lalu dari manakah muncul pemikiran seperti ini?!
Tidak lain dan tidak bukan, pemikiran tersebut hanya muncul daripada hawa nafsu semata-mata. Benar, mereka selalu mencari-cari kesalahan sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya membangkitkan semangat untuk berjihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh al-Suyuthi, al-Hafizh al-Sakhawi dan para ulama’ lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengartikannya dengan tujuan membangkitkan semangat untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut perihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rapuhnya dan tidak didasari perkataan mereka itu apabila berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidhal. Semoga Allah merahmati para ulama’ kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai ikatan bagi kita semua menuju jalan yang diridhoi Allah Swt.
E. Pembahasan Ulama Sunni-Aswaja dengan Ulama Salafi-Wahabi Seputar Maulid Nabi Saw
Dari kitab Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, karya Ibnu Taimiyah, hal. 621, yang membolehkan dan menganjurkan Maulid. Hal ini berarti membungkam kaum Wahabi yang membid’ahkan dan mengkafirkan perayaan Maulid Nabi Saw.
Wahabi: “Mengapa Anda mengerjakan Maulid. Padahal itu bid’ah.”
Sunni: “Maulid itu perbuatan baik, dan setiap kebaikan diperintah oleh agama untuk dikerjakan.”
Wahabi: “Mana dalilnya?.”
Sunni: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
“Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. al-Hajj : 77). Maulid itu termasuk kebaikan, karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan membaca shalawat. Berarti masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.”
“Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. al-Hajj : 77). Maulid itu termasuk kebaikan, karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan membaca shalawat. Berarti masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.”
Wahabi: “Itu kan dalil umum. Tolong carikan dalil khusus dalam al-Qur’an yang menganjurkan Maulid.”
Sunni: “Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, tolong jelaskan dalil anda yang melarang Maulid.”
Wahabi:
“Dalil kami sangat jelas. Maulid itu termasuk bid’ah. Setiap bid’ah
pasti sesat. Rasulullah SAW bersabda: “Kullu bid’atin dholalah.” Setiap
bid’ah adalah sesat.”
Sunni:
“Ah, kalau begitu dalil anda sama dengan dalil kami, sama-sama dalil
umum. Yang saya minta adalah, jelaskan ayat atau hadits yang secara
khusus melarang maulid.”
Di sini,
ternyata si Wahabi mati kutu, dan tidak bisa menjawab. Akhirnya si Sunni
berkata: “Anda percaya kepada Syaikh Ibnu Taimiyah?”
Wahabi:
“Ya tentu. Beliau itu Syaikhul Islam, ulama besar, dan inspirator dakwah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, panutan kami kaum Wahabi.”
Sunni:
“Syaikh Ibnu Taimiyah, membenarkan dan menganjurkan Maulid, dalam
kitabnya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621.” Lalu si Sunni
menunjukkan teks asli kitab tersebut. Akhirnya si Wahabi terkejut dan
terperangah. Mucanya seketika menjadi pucat. Kitab tersebut, dia bolak
balik, ternyata penerbitnya juga orang Wahabi di Saudi Arabia.
Wahabi:
“Syaikh Ibnu Taimiyah itu manusia biasa. Bisa salah dan bisa benar.
Masalahnya Maulid ini tidak memiliki dasar agama yang dapat
dipertanggung jawabkan.”
Sunni: “Menurutmu, dasar agama itu apa saja?”
Wahabi: “Al-Qur’an dan Sunnah saja. Selain itu tidak ada lagi.”
Sunni: “Sekarang saya bertanya kepada Anda. Bagaimana hukum seorang anak memukul orang tuanya?”
Wahabi: “Jelas haram dan dosa besar.”
Sunni: “Tolong jelaskan dalil al-Qur’an atau hadits yang melarang memukul orang tua.”
Wahabi: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an;
“Maka janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula membentaknya.”
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap orang tua, karena jelas akan menyakiti mereka. Apabila berkata uff saja dilarang karena menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal menyakiti, dan keharamannya lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.”
“Maka janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula membentaknya.”
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap orang tua, karena jelas akan menyakiti mereka. Apabila berkata uff saja dilarang karena menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal menyakiti, dan keharamannya lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.”
Sunni:
“Owh, ternyata di sini Anda menggunakan dalil Qiyas. Tadi Anda berkata,
dalil itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Sekarang justru Anda menggunakan
dalil Qiyas. Berarti Anda mengakui Qiyas termasuk dalil, selain
al-Qur’an dan Sunnah.”
Wahabi:
“Ini kan Qiyas aulawi, dalam artian hukum yang dihasilkan oleh produk
Qiyas, lebih kuat dari pada yang ditunjuk oleh teks.”
Sunni:
“Harusnya Anda tidak membatasi dalil pada al-Qur’an dan Sunnah saja.
Tetapi juga menyebutkan Qiyas, sebagaimana dipaparkan oleh seluruh ulama
salaf. Anda tahu, bahwa menurut teori Ushul Fiqih, yang juga diakui
oleh Ibnu Taimiyah, produk hukum Qiyas aulawi, lebih kuat dari pada
hukum yang diproduk oleh teks. Dalam artian, memukul orang tua lebih
haram dan lebih besar dosanya dari pada hanya sekedar berkata uff,
karena volumenya dalam menyakiti lebih keras.”
Wahabi: “Di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan itu?”
Sunni:
“Dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh.” Kemudian si Sunni
menunjukkan teks pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut. Akhirnya
si Wahabi semakin senang, karena kesimpulan hukumnya sesuai dengan
kaedah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam-nya.
Wahabi: “Terus apa hubungan pertanyaan Anda, dengan persoalan Maulid yang kita diskusikan?”
Sunni:
“Hukum memukul orang tua lebih haram dari pada sekedar berkata uff.
Logikanya begini, Anda tahu, mengapa umat Islam dianjurkan puasa
Asyura?”
Wahabi: “Ya saya tahu. Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan:
“Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Rasulullah SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Lalu mereka ditanya, maka mereka menjawab; “Pada hari Asyura ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil menghadapi Fir’aun, maka kami berpuasa pada hari tersebut karena mengagungkannya.” Lalu Nabi SAW bersabda: “Kami lebih dekat kepada Musa dari pada kalian.” Maka Nabi SAW memerintahkan umat Islam berpuasa.”
“Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Rasulullah SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Lalu mereka ditanya, maka mereka menjawab; “Pada hari Asyura ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil menghadapi Fir’aun, maka kami berpuasa pada hari tersebut karena mengagungkannya.” Lalu Nabi SAW bersabda: “Kami lebih dekat kepada Musa dari pada kalian.” Maka Nabi SAW memerintahkan umat Islam berpuasa.”
Sunni:
“Nah di sinilah hubungannya dengan Maulid. Memukul orang tua tadi Anda
katakana lebih haram dari pada sekedar berkata uff. Kemenangan Nabi Musa
AS layak dirayakan dengan ibadah puasa, sedangkan lahirnya Rasulullah
Muhammad SAW jelas lebih agung dari pada kemenangan Musa. Apabila
kemenangan Musa AS layak dirayakan dengan suatu ibadah, maka sudah
barang tentu lahirnya Nabi Muhammad SAW lebih layak dirayakan dengan
acara Maulid.”
Wahabi:
“Owh jadi begitu ya, maksudnya. Apakah ada ulama yang menjelaskan
pengambilan hukum Maulid dengan yang Anda sebutkan tadi dari kalangan
ulama besar?”
Sunni: “Ya banyak sekali, antara lain al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh al-Suyuthi.”
Wahabi:
“Tapi ada satu hal, yang saya kurang setuju dalam perayaan Maulid. Yaitu
berdiri ketika membaca Ya Nabi. Itu jelas tidak ada dasarnya.”
Sunni:
“Anda pernah menonton orang-orang Wahabi di Saudi Arabia, ketika membaca
nasyid (syair atau lagu), secara berjamaah dan berdiri? Kalau tidak
tahu, silahkan Anda cari di Youtube, di situ banyak sekali. Itu mengapa
mereka lakukan?”
Wahabi: “Ya itu kan bernyanyi dan bersyair bersama. Kalau dengan cara duduk kurang asyik dan kurang nikmat.”
Sunni:
“Maulid juga begitu. Kalau menyanyikan Ya Nabi Salam sambil duduk,
dengan suara yang keras, kurang asyik juga dan kurang terasa khidmat.
Jadil hal ini tidak ada kaitannya dengan wajib atau sunnah.”
F. Dalil Maulid Nabi Saw Dalam Pandangan Al-Qur'an dan Al-Hadist
Rabiul Awal adalah bulan bertabur pujian dan rasa syukur. Di bulan ini, seribu empat ratus tahun silam, terlahir makhluk terindah yang pernah diciptakan Allah SWT. Namanya Muhammad SAW. Kita patut memujinya, karena tiada ciptaan yang lebih sempurna dari Baginda Nabi SAW. Berkat beliau, seluruh semesta menjadi terang benderang. Kabut jahiliah tersingkap berganti cahaya yang memancarkan kedamaian dan ilmu pengetahuan. Karena itu kita wajib mensyukuri. Tiada nikmat yang lebih berhak untuk disyukuri dari nikmat wujudnya sang kekasih, Muhammad SAW.
F. Dalil Maulid Nabi Saw Dalam Pandangan Al-Qur'an dan Al-Hadist
Rabiul Awal adalah bulan bertabur pujian dan rasa syukur. Di bulan ini, seribu empat ratus tahun silam, terlahir makhluk terindah yang pernah diciptakan Allah SWT. Namanya Muhammad SAW. Kita patut memujinya, karena tiada ciptaan yang lebih sempurna dari Baginda Nabi SAW. Berkat beliau, seluruh semesta menjadi terang benderang. Kabut jahiliah tersingkap berganti cahaya yang memancarkan kedamaian dan ilmu pengetahuan. Karena itu kita wajib mensyukuri. Tiada nikmat yang lebih berhak untuk disyukuri dari nikmat wujudnya sang kekasih, Muhammad SAW.
Walau
masih ada segelintir muslimin yang alergi dengan peringatan maulid Nabi
SAW, antusiasme mem peringati hari paling bersejarah itu tak pernah
surut. Di seluruh belahan bumi, umat Islam tetap semangat menyambut hari
kelahiran Nabi SAW dengan beragam kegiatan, seperti sedekah, berdzikir,
shalawat, bertafakkur, atau dengan menghelat seminar-seminar ilmiah,
bahkan Rasulullah telah mengawali mereka dan memberikan contoh dengan
berpuasa setiap hari kelahiran beliau yaitu hari senin. Negara-negara
muslim, kecuali Arab Saudi, menjadikan tarikh 12 Rabiul Awal sebagai
hari libur nasional. Hari itu pun dijadikan sebagai momen pertukaran
tahni’ah (ucapan selamat) bagi sebagian pemimpin negara-negara di
Sumenanjung Arab.
Secara
harfiah, maulid bermakna hari lahir. Belakangan istilah maulid digunakan
untuk sirah Nabi SAW, karena, seperti telah dimafhumi, sejarah dimulai
dengan kelahiran atau saat-saat jelang kelahiran. Sirah, atau sejarah
hidup Rasulullah SAW itu sangat perlu dibaca dan dikaji karena penuh
inspirasi dan bisa memantapkan iman. Allah SWT berfirman:
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.." (Qs. Hud ayat120).
1. Maulid Nabi Isa As.
Dalam
Al-Quran banyak tercantum maulid para nabi. Allah SWT mengisahkan Nabi
Isa A.S. secara runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul,
hingga diangkat ke langit. Coba tengok surat Ali Imran ayat 45 sampai
50. Di situ Allah SWT memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan
firmanNya:
“(ingatlah), ketika malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)” (Qs. Ali Imran ayat 45 s/d 50).
Dalam Surat Al Maidah ayat 110, Allah SWT lagi-lagi menegaskan sekali lagi siapa sosok Isa a.s., Allah SWT berfirman,
“(ingatlah),
ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan dirimu dengan Ruhul
qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian
dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis,
hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk
dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, Kemudian
kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya)
dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang
buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku
menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala
kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu
orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan
sihir yang nyata” (Qs. Al-Maidah ayat 110).
Ayat-ayat
di atas mengurai sirah nabi Isa a.s. mulai jelang kelahirannya sampai
diangkat ke langit. Sebuah data yang tak bisa dibantah keontetikannya.
Mengacu terminologi maulid sebagai sirah, jalinan kisah di atas sah-sah
saja bila diistilahkan sebagai Maulid Nabi Isa a.s.
2. Maulid Nabi Yahya As.
Selain
Nabi Isa a.s., Al-Quran juga mencatat “biografi” Nabi Zakaria dan maulid
Nabi Yahya Alaihimassalam. Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah
mengisahkan perjalanan hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang
lebar, dimulai dengan sebuah doa Nabiyullah Zakariya yang penuh
pengharapan.
“Ia
Berkata “Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku
telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada
Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku
(pengganti) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul,
Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan
mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia,
Ya Tuhanku, sebagai seorang yang diridhai” (Qs. Maryam ayat 3 s/d 33).
Kemudian Allah menjawab permintaan rasul-Nya itu, sekaligus sebagai isyarat akan lahirnya sang “putra mahkota”, Nabi Yahya a.s.,
“Hai
Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh)
seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah
menciptakan orang yang serupa dengannya.
Selanjutnya,
dengan bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi Zakaria a.s.
dan putranya, Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa
a.s., sirah Nabi Yahya bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya
karena, hakikatnya, maulid adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim,
Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.
3. Maulid Siti Maryam As.
Tak hanya
para nabi. Al-Quran juga mendedah sejarah hidup sebagian kaum shalihin.
Salah satunya adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang
masa. Kisah wanita mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan
seorang ibu yang berhati tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37.
35. “(ingatlah),
ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku menazarkan
kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan
berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari
padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
36.
" Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya
Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki
tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia
Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya
kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
37.
" Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik,
dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan
Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di
mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari
mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari
sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab. (Qs. Ali Imran ayat 35 s/d 37).
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kami sertakan pada artikel ini karena keterbatasan ruang di website ini. Dari
ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Maulid Nabi
SAW, yang memuat sirah Rasulullah SAW, adalah semacam epigon (pengikut)
bagi Al-Quranul Karim yang memuat sirah-sirah para nabi dan shalihin.
Sebagai pemimpin para nabi, sudah sepatutnya sejarah Nabi Muhammad
dibukukan dan dibaca sesering mungkin. Pentingnya mengenang perjalanan
hidup Baginda Nabi SAW sangat dirasakan umat Islam pada periode
akhir-akhir ini, tatkala berbagai figur non muslim ditawarkan oleh
media-media secara gencar.
4. Hari Istimewah.
Perlu
diketahui, sejatinya Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW
sebagai momen istimewa. Fakta bahwa Rasul SAW terlahir dalam keadaan
sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177) adalah salah satu tengara. Fakta lainnya:
Pertama,
perkataan Utsman bin Abil Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah
menjadi pembantu Aminah r.a. ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa
tatkala Ibunda Nabi SAW mulai melahirkan, ia melihat bintang bintang
turun dari langit dan mendekat. Ia sangat takut bintang-bintang itu akan
jatuh menimpa dirinya, lalu ia melihat kilauan cahaya keluar dari
Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan rumah terang benderang (Fathul Bari juz 6/583).
Kedua, Ketika Rasul SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).
Ketiga,
riwayat yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan bahwa
saat Ibunda Nabi SAW melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang
teramat terang hingga pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Fathul Bari juz 6/583).
Keempat, di malam kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan 14 buah jendela besar di Istana Kisra ikut rontok.
Kelima, padamnya Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada henti (Fathul Bari 6/583).
Kenapa
peristiwa-peristiwa akbar itu dimunculkan Allah SWT tepat di detik
kelahiran Rasulullah SAW?. Tiada lain, Allah SWT hendak mengabarkan
seluruh alam bahwa pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang
pernah diciptakan oleh-Nya, dan Dia SWT mengagungkan momen itu
sebagaimana Dia SWT menebar salam sejahtera di saat kelahiran nabi-nabi
sebelumnya.
5. Hikmah Maulid Nabi Saw.
Peringatan
maulid nabi SAW sarat dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya:
mengenang kembali kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang
penuh pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah
SWT kepada alam semesta. Para
sahabat radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW
dalam berbagai kesempatan. Salah satu misal, perkataan Sa’d bin Abi
Waqash radhiyallahu anhu, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami
tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW, sebagaimana kami
menuntun mereka menghafal satu surat dalam Al-Quran.”
Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan. Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT. Sempat terbesit sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda rasulullah mesti di bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang, sebagai tanda syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi, alangkah lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura’ sebagai tanda syukur atas selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari kelahirannya.
Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan. Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT. Sempat terbesit sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda rasulullah mesti di bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang, sebagai tanda syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi, alangkah lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura’ sebagai tanda syukur atas selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari kelahirannya.
Nah,
sudah saatnyalah mereka yang anti maulid lebih bersikap toleran. Bila
perlu, hendaknya bersedia bergabung untuk bersama-sama membaca sirah
Rasul SAW. Atau, minimal – sebagai muslim– hendaknya merasakan gembira
dengan datangnya bulan Rabiul Awal. Sudah sepantasnya di bulan ini kita
sediakan waktu untuk mengkaji lebih dalam sejarah hidup Rasul SAW.
Jangan lagi menggugat Maulid Nabi Saw...!!!
Akhirnya Ulama Salafi-Wahabi mengakui kebenaran Maulid secara syar’i. Alhamdulillah. Semoga bermanfaat....
Amin Ya Rabb-'alamin.... Barakallahu wafiikum....!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar