Minggu, 06 Desember 2015

MEMBEDAH KITAB TANWIRUL QULUB dan SEJARAH ULAMA MINANGKABAU









1. Pengrtian Kitab Tanwirul Qulub

Kitab Tanwir al Qulub fi Muamalati Allami al Ghuyub adalah sebuah kitab yang masyhur di dunia Islam. Kitab ini adalah salah satu ‘kitab wajib’ yang dipelajari pada hampir seluruh pesantren di Indonesia. Penulisnya adalah Syaikh Muhammad Amin al Kurdi yang kadang-kala juga disebut Syaikh Sulaiman al Kurdi. Beliau dilahirkan pada paruh kedua abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak, sebuah kota yang cukup populer terutama setelah serangan dan pendudukan Amerika Serikat atas negeri itu. Ayah beliau adalah seorang Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir al Jaelani. Guru beliau yang terkenal adalah Syaikh al Quthub, Mulana Umar, seorang wali Allah yang tinggal  di Irbil, Irak. Guru beliau inilah yang banyak menggembleng beliau dengan ilmu-ilmu syari’at dan thariqat, sehingga membuat beliau memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir dan batin. Syaikh Amin al Kurdi adalah seorang pelajar yang gigih, di mana masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu agama dari guru-guru besar yang masyhur pada zaman beliau. Setelah menamatkan pelajaran di Irbil beliau memulai perjalanan spiritual mengunjungi orang-orang shalih dan makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal tawakkal kepada Allah dan doa dari para guru, beliau memulai perjalanan ke Hijaz dengan menumpang kapal laut dari kota Basrah, Irak. Beliau tinggal di Mekkah belajar dari guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai amal sholih. Pada tahun 1300 H. beliau berangkat ke Madinah dan menetap di sana, belajar dan menempa rohani di Baqi’ dan jabal Uhud.


   Pada akhir usia beliau, beliau pindah ke Mesir karena didorong rasa rindu dan cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah SAW., yang saat itu sangat banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah sendiri. Saat menetap di Mesir inilah beliau meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga dari kitab fiqih as Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Tercatat guru beliau dalam fiqih adalah: Syaikh Asymuni dan Syaikh Musthafa ‘Izz as Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al- Azhar paling terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis beliau belajar dari Syaikh Samin al Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan menamatkan kitab Shohih Bukhari dan Muslim, Musnad as Syafii, al Muatha’ Imam Maliki, serta Tafsir Baidhawi. Beliau diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat al Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Kemasyhuran beliau menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan, beliau wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan di sebelah makam dua Imam besar dunia, Imam Jalaluddin al Mahali dan Imam Tajuddin as Subki.





A. Isi Kitab dan Pandangan Penulis


Kitab Tanwirul Qulub dibagi atas tiga bagian besar. Pertama, bagian Aqidah Biddiniyyah terdiri atas 3 bab. Kedua, bagian Fiqih terdiri atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal. Dan ketiga, bagian Tasawwuf dibagi atas 22 pasal. Pada pembahasan akidah dengan terang-terangan beliau mengatakan bahwa pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah al Asy’ariyah dan Maturidiyah saja dengan menyertakan dalil-dalil aqli dan naqli serta menolak suybhat yang dimunculkan oleh ajaran sesat di luar Ahlussunah (halaman 66). Beliau mengatakan bahwa Allah memiliki 20 sifat yang wajib atas Allah antara lain: Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashr, Kalam, Qadirun, Muridun Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakalimun. Dan 20 sifat yang Mustahil atas Allah antara lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Bighayrih, Ta’addud, Ajz, Karahah, Jahil, Maut,  Saman, Umy, Bukm, Kaunuhu Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan, Kaunuhu Asam, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu Abkam. Adapun sifat Jaiz yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Dalil atas sifat ini adalah surat Al Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.”
     Dalam bab Fiqih beliau menjelaskan dalam kitabnya secara lengkap pada hampir seluruh permasalah fiqih Imam Syafii. Meskipun pembahasannya tidak dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal para pelajar pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafii, karena di samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis nabi. Dibandingkan dengan kitab-kitab sejenisnya, misalnya kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin, kitab Tanwirul Qulub ini memiliki keunggulan tersendiri. Di mana dalam kitab ini terdapat pembahasan bab Fara’idh (warisan) dengan cukup lumayan luas, yang tidak terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar itu. Sedangkan dalam pembahasan Tasawwuf, beliau memulainya dengan pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawwuf, yaitu: 1. Taqwa kepada Allah, wara’ dan istiqamah, 2. Mengikuti sunnah nabi perkataan dan perbuatannya, 3. Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan bertawakal kepada Allah, 4. Ridha, dan  5. Taubat dan Syukur kepada Allah.
Sedemikian kokohnya pemahaman beliau atas tiga prinsip dasar akidah, fiqih dan tashawwuf itu, sehingga beliau mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk bertaqlid kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam madzhab yang Empat saja. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, beliau menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengucapkan bahwa dia terlepas dari Madzhab yang Empat serta hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah saja, maka orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan!..  Menurut beliau, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya kecintaan pada hal-hal duniawiyah. Di samping tidak tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar Madzhab yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas orang sekarang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab yang Empat. (Lihat Tanwirul Qulub, halaman 65-66,  cetakan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut).





B. Sanjungan dan Kritik


Kitab Tanwir al Qulub ini mendapat sanjungan yang luas dari kalangan ilmuwan di negeri Indonesia. Para ulama pesantren menjadikan kitab ini sebagai ‘kitab wajib’ untuk seluruh pelajar, terutama pesantren di tanah Jawa dan Sumatera. Di negeri Malaysia, kitab ini juga dipakai pada sekolah-sekolah Agama di sana dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Lembaga Bahasa milik Pemerintah Malaysia. Selain dipakai di pesantren, ternyata kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Hidayah, Bandung dengan judul Manusia Bumi Manusia Langit, Rahasia Menjadi Muslim Sempurna, terbit pada tahun 2010. Demikian terkenalnya kitab ini di Indonesia, sehingga telah beredar tidak kurang dalam enam edisi cetakan dengan penerbit yang berbeda, meskipun kesemuanya masih dalam bahasa Arab, antara lain: Terbitan Maktabah Keluarga Semarang, Terbitan Surabaya, Terbitan Darul Kutubi al Arabiyah, Indonesia, Terbitan Darul Fikri, Mesir, Terbitan Maktabul Taufiqiyyah, dan terbitan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut, Libanon, yang dilengkapi dengan catatan pinggir oleh Muhammad Riyadl. Sayangnya, edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia hanya ada satu saja, dan itupun tidak dilengkapi dengan teks ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis yang semestinya ada di dalamnya. Dengan keterbatasan ini, orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab sangat sulit untuk menikmati apalagi memahamkan, dan meyakini  kitab penting ini. Salah satu penyebab kitab ini masyhur dan tersebar di Indonesia adalah isi kandungannya yang bersesuaian dengan faham yang dianut oleh hampir seratus persen rakyat Indonesia. Dalam akidah misalnya, sudah dimaklumi bahwa faham masyarakat luas adalah faham Ahlussunnah Wal Jama’ah al Asy’ari, sedangkan dalam fikih juga dimaklumi bahwa hampir seratus persen bangsa Indonesia bermadzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam bidang tashawwuf, mayoritas penganut tashawwuf di negeri ini adalah penganut thariqat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Dan kalaupun mungkin ada orang tidak menganutnya, paling tidak masyarakat luas sudah menerima dan tidak menolak keberadaan aliran thariqat yang sudah dianggap mu’tabarah, dalam hal ini tentu termasuk ajaran Tharekat an Naqsyabandiyah ini.





C. Kritik dan Kecaman


Secara umum kritik bahkan kecaman sudah sering dialamatkan kepada para penganut aqidah al Asy’ariyah dan khususnya para penganut ajaran thariqat. Sebut misalnya kitab Manhaj al Imam asy-Syafii fi Itsbati al Aqidah oleh Doktor Muhammad bin Abdul Wahab al Aqil, terbitan Maktabah Abwa asy Salaf, Riyadl, tahun 1998 M. Dalam edisi bahasa Indonesia, kitab ini diberi judul Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i, penterjemah Nabhani Idris dan Saefuddin Zuhri, terbitan Pustaka Imam Syafi’i, tahun 2002. Keberadaan kitab itu cukup menghebohkan para ulama Indonesia, bahkan juga masyarakat awam karena isinya dianggap sebagai pemelintiran terhadap Akidah Imam asy-Syafi’i yang dikenal murni pengikut generasi awal Salaf as Shalih, menjadi Akidah Salaf ajaran Ibnu Taimiyyah. Kini, beberapa ulama di Indonesia mulai membahas keberadaan kitab ini, bahkan beberapa di antaranya telah mulai menulis kitab sanggahan, antara lain, Syahamah Jakarta dan LBM Nadhatul Ulama Jember. Kritik terhadap ajaran Thareqat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini pun sudah sangat gencar dilakukan, terutama oleh para pengikut Mazhab Salafi-Wahabi  di Indonesia antara lain: Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya “Belitan Iblis”, dan buku “Kesesatan Tahlilan dan Yasinan”. Juga Rapot Merah Aa Gym, MQ Dalam Penjara Tasawwuf, oleh Abdurrahman Al Mukaffi, (buku ini sudah penulis jawab dalam buku yang berjudul Salah Faham Penyakit Umat Islam Masa Kini). Dari luar negeri adalagi kitab terjemahan yang berjudul “Darah Hitam Tasawwuf” oleh Dr. Ilahi Dhohir. Namun secara spesifik, kritik terhadap kitab Tanwir al Qulub baru sekali dilontarkan oleh seorang ulama Timur Tengah bernama Muhammad Riyadl. Kitab tersebut berjudul Tanwir al Qulub fi Muamalati Allam al Ghuyub, terbitan Darul Kutub al Ilmiyah, Beirut  Lebanon, cetakan pertama tahun 1955 M. Di dalam kitabnya yang tebalnya mencapai 621 halaman ini, Muhammad Riyadl membantah, bahkan menyatakan sesat beberapa masalah yang telah dibahas oleh Syaikh Muhammad Amin al Kurdi. Kritikan terbanyak dilontarkan  terutama dalam pembahasan Aqidah (ushuluddin) dan Thariqat Naqsyabandi.
     Salah satu kritikan Muhammad Riyadl yang agak keras adalah masalah sifat Wujud Allah, di mana beliau mengatakan wajib meyakini wujud Allah secara dhahiriyah apa yang tertulis pada ayat al Qur’an dengan menolak takwil. Sehingga jika ditanyakan di mana Allah, maka wajib menjawab Allah ada di seluruh tempat, tetapi keberadaan Allah di seluruh tempat itu adalah dengan Ilmu-Nya bukan dengan Dzat-Nya. Kemudian beliau mengatakan lagi, bahwa wajib meyakini Allah itu dengan Dzat-Nya bertempat di langit-Nya, di atas Arasy-Nya, di atas segala yang paling tinggi sesuai dengan Keperkasaan dan Keagungan-Nya! Sebagai penyokong pendapatnya ini dikemukakannya dalil “Dialah Tuhan yang di langit” (QS. Ah Zukhruf: 84) dan firman Allah: “Tuhan yang Ar Rahman duduk di atas Arasy” (QS. Thaha ayat: 5). (Lihat halaman  30). Hal tersebut bertolak belakang dengan pemahaman Syaikh Amin al Kurdi yang meyakini Allah itu ada tanpa memerlukan tempat, tanpa memerlukan waktu, dan tidak memiliki pencipta, senada dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini Allah maujud bi la makan, wa la zaman, (Allah ada tanpa tempat dan Allah ada tanpa waktu). Imam Hanafi, seorang Imam dari generasi Salaf as Shalih mengatakan dalam kitabnya al Washiyyah, :“Penduduk surga melihat Allah dengan pasti tanpa mensifati-Nya dengan sifat benda, tidak menyerupai makhluknya dan tanpa berada di satu arah pun (tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di bumi dan tidak di langit-pen)”. Sementara, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Allah itu ada sebelum adanya tempat, dan sekarang,(setelah menciptakan tempat) Allah tetap seperti semula,yakni  ada tanpa tempat(lihat kitab al Farq baina al Firaq halaman 333). Penulis mencoba meneliti ayat al Qur’an yang dikemukakan oleh Muhammad Riyadl, ternyata ayat itu dipotong sedemikian rupa, sehingga tidak sempurna lagi wujud dan maksudnya. Seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi, dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.( al Qur’an surat al Zukhruf 84). Sebagai catatan, kata  ‘yang disembah di dalam kurung’ adalah makna takwil yang dilakukan mufassir ahli sunnah. Sayangnya, secara sengaja beliau memotong ayat itu sampai kepada bunyi “Tuhan di langit saja”, lengkapnya “Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit” dengan menghilangkan sambungan berikutnya dari ayat ini yang lengkapnya ada sambungan,“Dan Tuhan (yang disembah) di bumi.” Dalam kaidah ilmiah dan syar'i, perbuatan menggunting dan memotong dalil agar sesuai selera, dan dapat dipergunakan untuk membela faham sendiri (individu), adalah perbuatan tercela yang pada ujungnya akan merugikan diri sendiri. Bagaimana pun para pembaca yang kritis akan mengetahui juga perbuatan itu setelah meneliti dalil-dalil yang dikemukakan dengan merujuk kepada sumber dalilnya yang asli.






2. Sejarah Ulama MinangKabau



A. KH. Syekh Abu Ibrahim Woyla, adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Karamah (Keramat). Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla. Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Pantai barat selatan Aceh. Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun. Sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Kecamatan Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian Abu Ibrahim Wayla berguru padanya, Abuya Muda Waly adalah sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah tersohor di Aceh. Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 3 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale dan Abu Hasballah Indrapuri. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho di Padang Panjang. beberapa tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemudian Syeikh Muda Waly kembali kepadang dan pulang ke Aceh Selatan untuk mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Dayah, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilal yatim (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan. Setelah lebih kurang 3 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya. Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi. Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla. Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla. Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri, isteri pertama bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri keduanya yang beliau nikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal tidak dikaruniai anak. Menurut cerita tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak pertama yang dikandung Ummi Rukian, kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak stabil, sehingga beliau mengatakan pada isterinya “Saya mau belah perut kamu untuk melihat anak kita”, kata Abu Ibrahim Woyla pada isterinya yang pada saat itu membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang diucapkan Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu. Karena perkataan seperti itu dianggap perkataan yang sudah diluar akal sehat, maka keluarga dengan cemas menggatakan kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim Woyla yang meminta untuk membelah perut isterinya yang sedang mengandung 6 bulan. Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah dilakukannya. Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi pasangan suami-isteri karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu bagi Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir, kemudian beliau pergi kembali mengembara entah kemana. Ketika anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah kondisi Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari. Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla telah tinggal bersama keluarganya. Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir anaknya yang ketiga Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan entah kemana. Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla terhadap nafkah keluarganya, isterinya minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah asalnya. Alasan isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik berzikit sendiri dan pergi kemana beliau suka. akan tetapi, keinginan Ummii Rukian untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena Allah mempersatukan Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya. Kisah Keajaiban dan Aneh Bila kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya tak ubah seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf. Banyak sekali tindakan yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia. Untuk mengenal prilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya. Alm. Abu Ibrahim Woyla berkunjung ke sebuah tempat. Itulah keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosok Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla. Hal ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat dimana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin. Dalam hal ini Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam (seorang warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla menceritakan bahwa Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilawatinya, ia mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan berzikir LA ILAHA ILLALLAH yang tak berhenti keluar dari mulutnya, setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu. Tidak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu A’lam. Menurut Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi, ia mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari. Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal. Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan zikir sambil berjalan. Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 sampai 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa. karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar, misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno, Aceh Jaya. lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba. Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan. Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk Nasruddin bertanya, “Kenapa dengan kaki Abu ?” Abu menjawab “saya baru pulang dari bukit Qaf (Mekkah), disana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi”, Abu meneruskan “setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya, karena saya takut duduk dalam kereta api itu , maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh”. Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, “baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya” kata sang isteri pada suaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya “coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu” katanya.lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya. Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap acara pernikahan anaknya. Padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari “H” (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya. Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun. Tim Majalah Santri Dayah pernah berziarah ke makan beliau pada pertengahan tahun 2012, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawa kepada syirik).



B. Syekh Muda Abdul Qadim Balubus, adalah Surau Tuo AKAR ISLAM MINANGKABAU, yaitu Kumpulan khazanah keemasan Islam di Minangkabau. Mulai dari ulama-ulama Tuo, Surau, hingga karya-karya klasik. Surau Tuo tempat mula mengkaji agama dan adat, tempat menempa akal, budi, raso pareso jo mufakat; tempat menaiki jenjang Syari'at Tarikat Hakikat Ma'rifat. Mencapai INSAN KAMIL, "iduik nan ka dipakai, mati nan ka ditompang." Syekh Muda Abdul Qadim Belubus (1878-1957): Ulama besar Tarikat Naqsyabandiyah dan Samaniyah di Sumatera Tengah Tulisan ini dikutip dari buku penulis, "Ulama Luak nan Bungsu" dan "Bibliografi Karya Ulama Minangkabau", berdasarkan keterangan Buya H. Anas Malik Belubus, dan keterangan dari kitab-kitab Beliau. Syekh Muda Abdul Qadim atau yang lebih dikenal dengan “Baliau Belubus” adalah seorang ulama terkemuka pemangku Tarikat Naqsyabandiyah dan Tarikat Samaniyah. Meski nama beliau tidak begitu banyak disebut oleh para peneliti Ulama, namun beliau mempunyai pengaruh besar yang tak terbantahkan dikalangan ahli-ahli Tarikat Sufiyah di Sumatera Tengah, Minangkabau Umumnya. Bahkan dikabarkan bahwa khalifah-khalifah beliau, salah satunya Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai, telah pula mengembangkan sayap ilmu Tarikat dari silsilah Syekh Mudo menyeberang lautan, sampai Malaysia dan Thailand. Ketika diadakan kongres Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi pada tahun 1954 yang dipayungi oleh Perti, maka beliau Syekh Mudo adalah salah persertanya, disamping 280 ulama-ulama besar lainnya di Sumatera Tengah. Belubus, sebuah nagari yang terletak di ketinggian, tak jauh dari kota Payakumbuh. Di daerah ini Syekh Muda Abdul Qadim lahir pada tahun 1878. tempat mula beliau menuntut ilmu ialah Batu Tanyuah. Disini beliau mengaji kitab cara lama kepada salah seorang alim yang tidak begitu dikenal namanya. Setelah dari Batu Tanyuah, beliau kemudian belajar mendalami Syari’at dan Tharikat, paling tidak ada 6 daerah terkemuka dalam Tarikat Sufiyah di Minangkabau yang dikhitmatinya. Tempat-tempat itu ialah, pertama, Batu Hampar (Payakumbuh) tempat bermukimnya ulama besar Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Batu Hampari an-Naqsyabandiyah (w. 1899). Disini beliau mula mengaji Tarikat Naqsyabandiyah sampai memperoleh Natijah, hingga Syekh Abdurrahman menggelari beliau dengan “Syekh Mudo”. Kedua Padang Kandih, yaitu kehadapan Tuan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (w. 1912). Ketiga Kumpulan, tempat bermukimnya ulama besar Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati “Angguik Balinduang” Kumpulan (w. 1915). Keempat di Padang Bubus Bonjol, tempat beliau berkhitmat atas jalan Tarikat Naqsyabandiyah di Makam Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus (Abad XIX). Kelima di Simabur, kepada salah seorang ulama masyhur dalam ilmu Hakikat, namun nama beliau ini tidak dikenal lagi. Keenam di Kumango, Batusangkar, kepada Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi “Beliau Kumango”. Begitulah pengembaraan keilmuan beliau, terutama dalam bidang ilmu Hakikat dan Tarikat, hingga beliau beroleh nama besar selaku ulama terkemuka dalam Tarikat Ahli Sufi, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Syekh Mudo setelah itu mulai mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya di kampung halaman beliau, Belubus. Disini beliau mendirikan surau, pusat khalwat Naqsyabandi, yang dibarengi dengan pengajaran Tarikat Samaniyah dan Silat Kumango. Surau Belubus kemudian menjadi terkemuka, banyak orang-orang siak dari seantero Minangkabau yang melanjutkan kaji-nya, terutama dalam Tarikat kepada Syekh Mudo Abdul Qadim. Diantara murid-murid beliau tersebut, banyak pula yang kemudian terkemuka pula selaku ulama, diantaranya ialah Syekh Beringin di Tebing Tinggi Medan, Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai, Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah Batu Tanyuah dan Buya H. Muhammad Dalil Dt. Manijun di Jaho. Syekh Mudo wafat pada tahun 1957 dan dimakamkan di depan Mihrab Surau Belubus. Selain meninggalkan ilmu Tarikat yang berurat berakar, terutama di kawasan Luak Limopuluah, beliau juga meninggalkan beberapa karangan yang diperuntukkan bagi kalangan Ahli Tarikat. Beberapa buah karangan itu dapat diakses, sebagian lainnya masih tersimpan dan dirahasiakan oleh pewaris Surau Belubus. Diantara karangan Syekh Mudo tersebut ialah: 1) As-Sa’adatul Abdiyah fima Ja’a bihin Naqsyabandiyah menyatakan wirid-wirid amalan Tharikat Naqsyabandiyah. Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1936. pada sampul karya ini tercetak jelas : “Tidak dijual dan tidak dipakai bagi orang yang belum mengamalkan wirid tersebut”. Sebuah peringatan yang umum dikalangan ahli Tharikat, sebab ada kekhawatiran bila kaji tharikat diumbar-umbar maka akan jatuh harganya sebagai ilmu yang istimewa. Adapula karena kaji tharikat diperkatakan dipasaran, ada orang-orang yang belum sampai akal dan ilmunya yang membatalkan kaji tersebut, sebab membatalkannya merupakan suatu kecelaan yang nyata. Secara umum Risalah ini berisi tentang kaifiyah mengambil Tarikat Naqsyabandiyah. Mulai dari Bai’at, penjelasan Zikir-zikir Naqsyabandiyah, Rabithah dan lainnya. Risalah ini telah dicetak beberapa kali oleh berbagai percetakan. Terakhir dicetak pada Percetakan Sa’adiyah Bukittinggi. 2) As-Sa’adatul Abdiyah fima ja’a bihin Naqsyabandiyah Bagian Natijah Sebuah kitab Naqsyabandiyah yang dipergunakan khusus bagi guru-guru mursyid yang telah mencapai khalifah, sebab di dalamnya banyak dibicarakan mengenai rahasia-rahasia Tharikat Naqsyabandiyah yang dilarang dikemukakan kepada khalayak umum. Cetakan ke-2 risalah ini dicetak oleh Syarikah Tapanuli – Medan tahun 1950. 3) Risalah Tsabitul Qulub Risalah ini merupakan literatur langka mengenai Tarikat Samaniyah di Minangkabau. Secara umum isinya berbicara tentang ilmu Tasawwuf dan Tarikat, namun didalamnya disinggung mengenai amalan Tarikat Samaniyah dengan cukup panjang. Risalah ini terdiri dari beberapa jilid. Sampai saat ini baru diidentifikasi sebanyak 3 juzu’ karya ini. Deskripsi setiap jilid ialah sebagai berikut: [Pertama] Tsabitul Qulub jilid I, Kitab ini berisi dalil-dalil yang tersirat untuk mempertahankan amal Tharikat, serta memperkokoh hati murid, supaya tidak terpecah-pecah akibat faham yang bergitu rupanya. Penulisan sumber rujukan dalam kitab ini cukup variatif, menunjukkan kealiman Syekh Muda yang masyhur itu. Diantar sumber-sumber kitab yang menjadi rujukannya ialah Tanwirul Qulub (sangat populer saat ini), Shahifatus Shafa (besar kemungkinan karangan Syekh Sulaiman Zuhdi Jabal Qubis), Manzhirul A’ma, Khazinatul Asrar, ar-Rahmatul Habithah, Hadist Arba’in, Sairus Salikin, al-Minhul Nisbah, Husnul Husain, al-Qusyairi, Lathifatul Asrar, Hidayatus Salikin, Aiqazhul Manam, Hidayatul Hidayah, Mawahib Sarmadiyah, al-Asymuni dan lain-lainnya.Selain menjadi penguat hati si murid, risalah ini juga memuat kaifiyah Tharikat Saman dan Tharikat Muhammad Yaman (pecahan Saman) beserta wirid-wirid dan zikir-zikirnya. Risalah ini kemudian ditutup dengan sebuah fasal yang cukup panjang berisi tentang “Pengajaran tatakala nyawa akan berpulang ke hadirat Allah”. (cetakan ke-6, pada percetakan as-Sa’adiyah Bukittinggi, t. th) [Kedua] Tsabitul Qulub jilid II, Kajian dalam kitab ini tak kalah menariknya. Kitab ini baru dijumpai penulis dalam bentuk manuskrip, salinan tangan oleh Marnis Dt. Bangso Dirajo. Di antara isi kitab ini ialah: 1) Himpunan akidah lima puluh 2) Sebab zikir la ilaha illallahu tidak pakai muhammadur rasulullah 3) Masalah Nur Muhammad dan Nur Allah 4) Kelebihan manusia dari pada segala alam 5) Masalah Najis dan hadast 6) Pembahasan Muqarinah Niat 7) Tentang martabat Ahadiyah, wahdah dan wahidiyah 8) Menyatakan syari’at dan tharikat di dalam sembahyang 9) Rabithah dalam sembahyang 10) Asal suluk 40 hari, dan lainnya banyak lagi [Ketiga] Tsabitul Qulub jilid III, pada jilid ini termuat pengajaran Tharikat yang cukup istimewa, yakni membicarakan perhubungan shalat dengan Tharikat. Di mana di dalamnya ada tertulis: Maka dari itu nyatalah bagi kita bahwa ilmu Tharikat itu bersuanya di dalam sembahyang. Sepatutnya kita mahir ilmu tharikat itu dengan beberapa martabatnya. ……………… Maka apabila hilang hamba dan hilang kalimat dan tinggal nur, maka nur itulah yang dinamakan dengan zikir Hakikat. Maka apabila hilang hamba hilang kulimah hilanglah pula nur maka pulanglah hak kepada yang mepunyai, dan kembalilah hamba kepada Tuhannya. (Tsabitul Qulub jilid ke-III) Kemudian kitab ini disambung dengan pembahasan mengenai “nafsu yang tujuh”, dijabarkan dengan kalimat jelas dan ringkas. Kemudian kitab ini disudahi dengan wirid-wirid dalam tharikat Saman. Asal naskah kopiannya masih ada tersimpan di surau Belubus, yakni cetakan Islamiyah – Medan. 4) Al-Manak: mempusakai dari ayah, Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (disebut juga dengan kitab “Bintang Tujuh”) Kitab ini berisi ilmu-ilmu yang dipusakai dari Syekh Muda Abdul Qadim. Diantara isinya cara mencari awal-awal bulan Arab, mencari awal bulan Ramadhan, ilmu Bintang Tujuh (saat baik dan buruk), ilmu pertukangan rumah adat Alam Minangkabau, mencari waktu baik dan jahat, mencari barang hilang dan lainnya.



C. Syekh Burhannudin Ula'an, adalah seorang ulama besar yang berhasil meng-Islam-kan masyarakat “Minangkabau” secara menyeluruh. Sebelumnya masyarakat “Minangkabau” memeluk agama Budha termasuk beliau sendiri serta keluarganya. Nama kecil beliau adalah Si Kanun , ibunya bernama Si Neli bapak bernama Si Pampak, suku Guci, negeri asal Batipuh Pariangan Padang panjang. Si Kanun dan orang tuanya pindah ke Sintuk (Pariaman), Menurut kata pepatah di Minangkabau: Jikok dakek mancari sanak Jika dekat mencari sanak Jikok jauah mencari suku Jikalau jauh mencari Suku Jikok dakek mancari induak Jikalau dekat mencari induk Mancari simpang jo balahan Mencari simpang dengan belahan Mamak nan ditinggakan Mamak nan ditinggalkan Mamak pulo nan ditapeti. Mamak pula nan ditepati “ SI KANUN ” MENDAPAT GELAR PAKIAH SEMPURNA Karena taat dan sempurnanya tabiat, serta sempurna terang hatinya si Kanun ,maka oleh gurunya Syeikh Madinah dia digelari Pakiah Sempurna . Namun kemudian oleh kawan-kawan seperguruannya, panggilan sehari-harinya sesuai dengan dialek daerah Pariaman menjadi Pakiah Sampono lama-kelamaan berubah lagi menjadi Pakiah Pono. Sebab didaerah pesisir Pariaman dalam percakapan sehari-hari sangat lazim membuangkan huruf “R” seperti pariuk menjadi payuak. Sejak saat itu mulailah tersiar agama Islam dipesisir rantau Pariaman sampai keekor darek yaitu Kandang Ampek. Setelah Syeikh Madinah meninggal, pakiah Pono melanjutkan perjalanannya seorang diri dengan berjalan kaki, untuk menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf menuju negeri Singkil bahagian Aceh Selatan Kemudian ditukarlah nama pakiah pono oleh Syekh Abdurrauf dengan nama yang diamanatkan oleh gurunya yaitu Burhanuddin. dapun kaji (pelajaran) yang diberikan oleh Syekh Abdurrauf kepada Burhanuddin : Bedahlah Qalbu bimbinglah jiwa Pergilah haji ke Tanah Mekkah Agar merasuk Iman dan taqwa Guna mencari ridho Ilahi Tahan nafsu sanak saudara Hidup didunia sekedar singgah Itulah jalan menuju Sorga Hati-hatilah menjaga budi pekerti (hati).




3. Difinisi Ilmu Tauhid

Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan, ilmu yang menyingkap kebatilan orang-orang kafir, kerancuan dan kedustaan mereka. Dengan ilmu tauhid ini, jiwa kita akan kokoh, dan hati pun akan tenang dengan iman. Dinamakan ilmu tauhid karena pembahasan terpenting di dalamnya adalah tentang tauhidullah (mengesakan Allah).

Allah swt. berfirman:

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)


A. Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid

Apa saja yang dibahas? Ilmu tauhid membahas enam hal, yaitu:

1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.

2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.

3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.

4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.

5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).

6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.

Allah swt berfirman:


“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah: 285)


Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab,


“Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).


B. Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu

Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?,


Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.
Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa.

Allah swt. berfirman,


“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)



)=> Barakallahu Wafiikum <=(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar