Minggu, 06 Desember 2015

PENJELAS AQIDAH SUNNI dan SYI'AH









 A. PENGERTIAN PEMIMPIN




Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.

Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.

Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.

Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).

Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.

Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.

Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.

Yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.

Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.

Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.

Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun harus mondial.

Sejauh ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama melalui forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars) sudah tiga kali menggelar pertemuan para ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk tujuan dimaksud: tujuan luhur mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Ke dalam, penggairahan masjid sebagai pusat peradaban dan institusi perawatan nilai-nilai juga disadari semakin penting dilakukan. Manakala masjid berfungsi merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman tadi bisa dilawan pengaruhnya.

Tentu saja, penyikapan yang komprehensif harus diupayakan secara menerus. Nilai dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen. Sudah saatnya, pada tingkat instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia memiliki misalnya, stasiun televisi, production house untuk membuat film berbasis nilai-nilai Aswaja, perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan segala institusi baru lainnya agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa dilakukan secara maksimal. Wallahua’lam



B. PERBEDAAN MAZHAB SUNNI DAN SYIAH



Mulai banyak yang sering melancarkan tuduhan syi’ah di dunia online dan jejaring sosial secara membabi buta. Mereka sendiri banyak tidak paham mengenai hakikat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni/Aswaja) dan tidak paham mengenai syi’ah.

Misalnya, hanya karena berbeda pandangan politik, langsung di vonis syi’ah, dan banyak kasus lainnya. Hal semacam itu tidak lain karena ketidak-tahuan mereka.

Berikut beberapa ikhtisar mengenai perbedaan antara ajaran Sunni (Ahlussunnah wal jama’ah  Aswaja) dan Syi’ah dalam bidang teologi (aqidah), hukum (fiqh), bidang politik dan lainnya.




Dalam Bidang Aqidah:


1. Dalam bidang aqidah kita  menyakini rukun Islam ada 5 (Syadatain, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji) dan rukun Iman ada 6 (Iman pada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari Kiamat dan Qadha’ dan qadar).
Adapun rukun Islam Syi’ah terdiri dari: Shalat, Shaum (puasa), Zakat, Haji dan Wilayah. Sedangkan syahadat mereka, tidak hanya hanya Syahdatain (2 kalimat syahadat) tetapi ditambah dengan menyebut 12 imam (Tiga kalimat syahadat).
Sedangkan rukun Iman Syi’ah hanya ada 5, yaitu: Tauhid, Nubuwwah, Imamah, al-‘Adl dan Ma’ad.
2. Dalam bidang aqidah kita menyakini bahwa al-Qur’an tetap orisinil,  surga diperuntukkan bagi orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya , neraka diperuntukkan kepada orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun Syi’ah, menyakini bahwa al-Qur’an tidak orisinil dan sudah di ubah oleh sahabat (dikurangi da ditambah), surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta pada Imam Ali dan neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali.
3. Rujukan hadits kita adalah Kutub al-Sittah (Shahih al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Turmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa’i).
Adapun Syi’ah, memiliki rujukan hadits sendiri seperti Al Kutub al-Arba’ah yaitu Al Kafi, Al Ibtishar, Man La Yadhuruhu al Faqih, dan At-Tahdzib.

Dalam Bidang Fiqh (Hukum):

1. Mashadir al-tasyri’ (sumber hukum) kita adalah Al Qur’an, As-Sunnah (al-Hadits), serta Ijma dan Qiyas (analogi hukum) sebagai tambahannya.
Adapun Syi’ah, mashadir al-tasyri-nya adalah (1) al-Qur’an daan As-Sunnah, (2) Sima (pendengaran) dari Rasulullah, (3) Kitab Ali, disebut Al Jami’ah, (4) al-Isy-raqat al-Ilahiyyah
2. Kita berpandangan bahwa potensi ijtihad terbuka dalam ranah yang belum dijelaskan oleh nash al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun Syi’ah, potensi ijtihad juga terbuka namun dalam ranah selain imamah.
3. Rujukan fikih kita mengambil dari imam madzhab 4 yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun Syi’ah, mengambil fiqih dari para imam Syi’ah.

Dalam Bidang Politik:


1. Kita (Sunni) mengakui bahwa Khufaur Rasyidin yang sah adalah Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Umar al-Faruk (Umar bin Khattab), Utsman bin Affah dan Ali bin Abi Thalib.
Adapun Syi’ah tidak mengakui Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman karena dianggap merampas kekhalifahan Sayyidina Ali.
Namun ada Syi’ah yang masih mengakui semuanya (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) yaitu Syi’ah Zaidiyah.
2. Kita (Sunni) berpandangan bahwa pemimpin atau imam tidak terbatas pada 12 imam dan percaya pada imam-imam itu tidak termasuk rukun iman, kita juga berpendangan bahwa khalifah (imam) tidak ma’shum atau mereka bisa berbuat salah/dosa/lupa.
Adapun Syi’ah berpandangan bahwa kepemimpinan hanya sebatas 12 imam dan termasuk rujukan iman mereka. Mereka juga menyakini kema’shuman 12 imam tersebut seperti para Nabi.
3. Kita (Sunni) berpandangan bahwa pemimpin (imam) diangkat melalui kesepatakan ahlul halli wal aqdi, atau orang yang mengangkat dirinya sendiri (dalam kondisi darurat), kemudian ia dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi dan rakyat.
Adapun menurut Syi’ah, pemimpin sudah ditentukan oleh Allah (nas Ilahi) bukan pilihan rakyat.
4. Dalam hal hukum mengangkat imam. Kita (Sunni) berpandangan bahwa kepemimpinan hukumnya wajib karena dalil-dalil syari’at.
Adapun Syi’ah, berpandangan bahwa hukumnya wajib berdasarkan nas Ilahiy.

5. Dalam hal syarat pemimpin. Kita (Sunni) berpendangan bahwa pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu (1) berasal dari suku Quraisy (pada tahap berikutnya terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini), (2) Bai’at, (3) Syura, dan (4) Adil
Adapun Syi’ah, pemimpin harus berasal dari Ahlul Bait.

Perbedaan Lainnya:

1. Kita (Sunni) dilarang mencaci maki sahabat Rasulullah Saw. Kita juga sangat menghormati Sayyidah Aisyah istri Rasulullah Saw, serta menyatakan bahwa para istri Rasulullah Saw termasuk ahlul bait.
Adapun menurut Syi’ah, mencaci maki para sahabat tidak apa-apa bahkan mereka berkeyakinan, para sahabat menjadi murtad setelah Rasulullah Saw wafat dan hanya tersisi beberapa sahabat saja. Alasan murtadnya karena para sahabat membai’at Abu Bakar al-Shiddin sebagai khalifah. Syi’ah juga mencaci maki Sayyidah Aisyah dan tidak menggolongkan istri Rasulullah Saw sebagai ahlul bait.
2. Tentang Raj’ah. Kita (Sunni) tidak menyakininya.
Adapun Syi’ah menyakini aqidah raj’ah. Raj’ah adalah keyakinan bahwa kelak di akhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali, dimana pada saat itu ahlul bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
3. Terkait Imam Mahdi. Menurut kita (Sunni), Imam Mahdi adalah sosok yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
Adapun Syi’ah, mereka punya Imam Mahdi sendiri yang berlainan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Syi’ah, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya kemudian pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah Saw, Imam Ali, Fatimah dan ahlul bait lainnya. Selanjutnya, ia akan membangunkan Abu Bakar, Umar dan Aisyah. Ketiga orang tersebut akan disiksa sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka pada ahlul bait.
4. Terkait nikah Mut’ah, Khamar dan Air. Bagi kita (Sunni) mut’ah hukumnya haram, khamar hukumnya tidak suci (najis), dan air yang dipakai istinja’ (cebok) tidak suci.
Adapun bagi Syi’ah, mut’ah halal dan dianjurkan, khamar tidak najis, dan air yang telah dipakai istinja’ dianggap suci dan mensucikan.
5. Dalam hal shalat. Kita (Sunni) meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah, mengucapkan amin juga sunnah, shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i. Shalat dhuha disunnahkan.
Adapun bagi Syi’ah, meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat, mengucapkan amin di akhir sudah al Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/batal shalatnya, dan shalat jama’ diperbolehkan tanpa alasan apapun. Shalat dhuha tidak dibenarkan.

Ciri Khas Aqidah Sunni:

Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni) meyakini bahwa Allah itu Ada tanpa arah dan tanpa tempat. Inilah ciri khas Sunni sekaligus membedakan antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan aliran-aliran lainnya. Hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an surah al-Syura ayat 11. (*)



SUMBER: Buku Risalah Ahlussunnah wal-Jama’ah – Dari pembiasaan menuju pemahaman dan pembelaan Akidah Amaliah NU. Ditulis oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Tim penulis antara lain : KH. Abdurrahman Navis, Lc., M.H.I., Muhammad Idrus Ramli, dan Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. Penerbit “Khalista” Surabaya, Cetakan 1 tahun 2012. Halaman 11-14, dan 46-48.



* Penulis adalah guru madrasah, tinggal di Pondok Pesantren Ta’limussibyan al-Manshuriyah Bonder, Lombok Tengah, NTB. dan Ibnu Mansur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar