Rabu, 02 Desember 2015

KEUTAMAAN ISLAM,, IMAN,, TAUHID dan MA'RIFAT












Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Semoga shalawat dan salam tetap mencurah kepada junjungan kita Baginda Nabi Mustofa Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya yang mulia.



PENGERTIAN TA'RIF

Apabila seseorang yang hendak menjadikan dirinya seorang Mu'min dan Mukallaf kepada Allah swt dan Muhammad saw, maka hendaknya kita harus mengetahui perkara tentang Islam, Iman, Tauhid dan Ma'rifat. Karena keempat perkara ini mempunyai suatu ikatan diantara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kami sebagai jema'ah Asy-Syattariyah ingin menuangkan tentang hal tersebut, salah satunya ialah pokok ketentuan Mu'min dan Ta'rif, diantaranya ialah :



1. Ta'rif Islam.
Yang sebagaimana yang telah diketahui, bahwa islam adalah sebuah agama yang dibawa oleh Para Nabi dan Rasul. Dan sampailah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Rasulallah saw sampai detik ini. Sudah diketahui, bahwasannya cara hidup Islamiyah telah diakui oleh Allah swt kepada Nabi Ibrahim as, sebagaimana Firman Allah swt ia bersabda :

"Sesungguhnya Agama (yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka. Karena kedengkian (yang ada) diantara mereka, barang siapa yang Kafir terhadap Ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". (QS. Ali Imran ayat 19)

"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim didalam Al-Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan lagi seorang Nabi". (QS. Maryam ayat 41)

"Katakanlah : "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyarah diri". 
"Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan ditermia (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi".
 (QS. Ali Imran ayat 84 & 85)


 Kebanyakan Alim Ulama Syari'at, menafsirkan Islam adalah sebagai agama selamat yang berarti diselamatkan. Tetapi dalam hal ini, kami menafsirkan perkataan Islam itu mengikuti pandangan Tasawuf yang akan menguraikan Islam itu mengikuti huruf yang ada terdapat dalam perkataan itu sendiri. Bermula Islam itu mengandung Empat sifat Huruf yang masing-masing menpunyai makna tersendiri, dan bersambung pada perkataan yang satu dengan yang lainnya. Huruf tersebut ialah : Alif-Tsa-Lam-Mim
, terhimpun pada kalimah "ALLAH" yang mengisyaratkan kepada kalimah Syahadat Tauhid yang berarti "Asyhadu laa ilaaha illallah" serta disambungkan dengan kalimah "Muhammad" yang mengisyaratkan Syahadat Rasul yang berarti "wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullah".  Kalimah ini adalah  Syahdat yang diambil dari awalan Alif-Tsa-Lam-Mim itu. Dengan pengertian lain, Islam itu ialah Allah dan Muhammad Rasul-Nya Allah. Dimana ia-nya meliputi Martabat Adhan, Wardah, Wahdiah, Alam Ruh, Alam Tuhan, Alam Rahim dan Alam Insan (adam). Dialah Tuhan yang memerintah Dunia dan Akhirat dan Dialah yang sebenar diri yang diberi tanggung-jawab kepada Manusia dan memikul Akal dan Hati. Yang dimana anak dan cucu Adam as yang menanggung rahasia Allah yang akan menjadi sumpah kesetiaan ikrar dengan ujian Iblis La'nattullah alaih. Syaitan dan Iblis mempunyai sifat-sifat sama seperti Malaikat, dan Insan harus tahan dengan godaan dan ujian mereka. Jika kita ingin mau menjadi Insan Kamil yang beramanah yang sejati dan menjadi Khalifah Allah dibumi-Nya ini. Disamping itu, untuk menjadi sosok soritauladan bagi panutan umat, maka kita harus mencontoh segala cara hidup yang diridhoi oleh Allah sebagaimana cara hidup Nabi saw, Dialah (muhammad) menjadi contoh yang patut dan harus diikuti oleh setiap manusia, jika kita hendak mendekati keridhoan Allah swt.


2. Ta'rif Imam.      Iman pada Zahirnya, boleh dikatakan sebagai keyakinan yang Mutlak terhadap sesuatu yang menserikatkan dengan yang lain. Kita wajib beriman pada Allah swt secara Mutlak, dan beranggapan, bahwa Nabi saw itu ialah Hamba-Nya dengan tidak menyerikatkannya dengan yang lain. Sesungguhnya Iman itu terpancar oleh Nur Muhammad, yang menerangi suatu kelakuan atau jiwa yang mempunyai daya keyakinan yang secara Zahirnya Mutlak terhadap suatu perkara yang Ghaib yang keluar jauh daripada pencapaian Fikiran atau Akal Manusia. Mereka menerima tanpa sedikitpun sela (rongga) dengan sifat Syak. Waham dan Mawas terhadap yang diberikan kepadanya. Tanpa Iman dalam Hati sanubari, manusia tidak dapat menerima perkara-perkara ghaib dan sudah tentu mereka menolak dengan Akal Fikiran mereka itu disebabkan kedustaan segelintir kaum. Terutama terhadap Ilmu Allah, banyak dasar-dasar dan perkara-perkara yang ghaib itu, tidak terpancar oleh Akal yang keluar dari pada pemikiran manusia. Contoh yang jelas ialah, diri kita sendiri. Disamping itu, manusia tidak mudah beriman dan tidak mudah juga diberipetunjuk oleh Tuhan-Nya. Seperti Firman Allah Ta'ala :


1. "Alif-Lam-Mim"

2."Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keragu padanya, petunjuk bagi mereka yang ber-Taqwa"

3. "(yaitu) mereka yang ber-Iman kepada yang Ghaib, yang mendirikan Sholat, dan menafkahkan sebagian rezki mereka"

4. "Dan mereka yang ber-Iman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah turun sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat"

5. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung"
 (QS. Al-Baqarah ayat 1 - 5)


Iman hanya boleh diterima oleh Akal yang waras dan pendirian yang teguh, yang dipancarkan oleh buah fikiran yang terpancar dari sudut Hati melalui Nafas yang bergerak dalam jantung. Dalam hal ini tentang iman, jelas kita tidak boleh pisahkan diantara Diri, Bathin, Hati dan Lidah, yang mencapai kaitan diantara satu dengan yang lain.



3. Ta'rif Tauhid.      Tauhid ialah sebagai penggantung yang Mutlak terhadap Allah Azza Wa Jalla tanpa disekutui oleh yang lain. Bila kita ber-Tauhid dengan Allah, itu artinya kita benar-benar bergantung kepada-Nya tanpa sedikitpun disemat dengan sifat waham, syak dan was-was terhadap Allah swt. Kita ber-Tauhid kepada Zat-Nya, pada sifat-sifat-Nya, pada asma-Nya Allah swt. Ditastikkan dengan lisan : "Apa yang meyebabkan Tuhanku memberi ampunan kepadaku, dan menjadikan aku diantara orang-orang yang dimuliakan". Yaitu : Allah diNafikan kedalam Fikiran dan Hati Nurani serta Akal dan Iman. Adapun Tauhid pada Sifat Allah itu, berarti kita bergantung sepenuhnya kepada Iradat-Nya. Dan kita tidak berhak mengatur apa yang menjadi ketentuan-Nya dengan seizin-Nya.

"Tidak hidup aku hanya Allah yang hidup. Tidak mengetahui aku hanya Allah yang mengetahui. Tidak mendengar aku hanya Allah yang mendengar. Tidak melihat aku hanya Allah yang melihat. Tidak berkuasa aku hanya Allah yang berkuasa. Tidak berkehendak aku hanya Allah yang berkehendak. Tidak berkata-kata aku hanya Allah yang berkata-kata". Dialah sebenar-benar tempat kembali.

Cara ini adalah, cara menafikan diri kita dengan bathin agar kita semata-mata dekat dengan Allah swt. Tauhid pada Asma Allah berarti kita memandang Tuhan (Allah) dan setiap detakan Hati itu Wujudnya ialah Nama Allah, dan Nafas berdesir "HU". Dan adapun Tauhid itu ialah Sifat-Nya Allah dimana pun kita kerjakan kelakuan diri kita ini meng-Isbatkan kepada diri sebenar diri yaitu Zat-Nya Allah swt semata-mata. Kesimpulan makna Tauhid itu disaksikan pada yang banyak, kepada yang satu ialah, kita melihat dan meyakini, bahwa semua kelakuan Zat-Nya Allah Ta'ala yang menghasilkan atau menimbulkan dengan pancaran "NUR" sehingga segala sesuatu itu dapat dirasakan didunia ini.



4. Ta'rif Ma'rifat.      Ma'rifat berarti Mengenal, disambungkan kedalam huruf ALIF-LAM-LAM-HA yang berarti Allah bunyinya. Maka jadilah kalimah Ma'rifattullah itu yang artian kata Mengenal Allah. Lalu pada dasarnya ialah di-Nafi-kan kedalam Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya dan Mengenal-Nya. Pada awal-awal Rasulallah menegaskan, bahwa tugas kita sebagai insan ialah Mengenal Allah, jika kita tidak mengenal Allah, maka kita tidak mengenal diri yang sebenarnya diri kita dan agama belum mempunyai dasar apabila kita tidak ber Ma'rifat. Dengan adanya Ma'rifat, maka kita dapat mengenal siapa Tuhan kita, karena diri kita ini ialah Rahasia-Nya. Seperti Firman Allah dan Sabda Nabi : "Manusia itu adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasia-Nya".Oleh yang demikian itulah telah dikatakan, bahwa kita ingin mengenal Allah itu, hendaklah mengenal diri sebenar diri. Sesungguhnya jalan untuk mengenal diri itu adalah dengan cara menjalani Ritual-ritual Sufi yang ada, melalui Mursyid (guru) dan peraturan-peratuaran Thareqat itu sendiri. Adapun yang dikatakan Iman, Islam, Tauhid dan Ma'rifat itu tidak boleh bercerai-berai antara satu dengan yang lainnya, karena sesungguhnya Islam itu tanpa ber-Iman, bagaikan sebiji buah padi yang tidak berisi, dan Iman tanpa ber-Tauhid, bagaikan buku tanpa tulisan. maka dari itu kesemuanya tidak berguna, seperti padi yang tidak menjadi beras dan nasi. Dan ingatlah, Bahwa Tauhid tanpa beriman tidaklah akan sempuran Islamnya, dan tidak akan medapatkan petunjuk dari Tuhan-Nya kalau Ma'rifatnya tidak ber-Tauhid serta Iman. Maka hancurlah ke-Islam-an seseorang tersebut (sia-sia), oleh karena itu kita harus fahami, bahwa Iman adalah Islam yang tidak akan bercarai-berai pada yang satu, dan Firman Allah di Al-Qur'an itu sendiri, tidak pernah Allah mengambil hal dengan orang Islam itu dengan yang Kosong kecuali dengan orang-orang yang ber-Iman. Dan setiap yang beriman itu adalah Islam yang Mulia. Dan Hancurlah Iman itu tanpa ber-tauhid, karena ber-Tauhid itu adalah iman seseorang yang akan bergerak mengikuti arus (nafas) dengan detakkan Hati. Disamping itu, Tauhid tanpa Ma'rifat tidak sempurna, karena Tauhid kepada Allah berarti telah menyerah diri kepada Allah. Dan apabila Ma'rifat itu tidak mengenal siapa Tuhan-Nya, maka bolehlah dinamakan berserah (Buta-Tuli). Oleh karena itu, bila kita berTauhid kepada Allah swt, maka haruslah pula kita Mengenal Allah (ma'rifattullah).






Filosofi Syattariyah : Awal Agama (hidup) itu Mengenal Allah, Kenal Allah Maka Kenallah Diri, Kenal Diri Maka Kenallah Tuhan, Kenal Tuhan Maka Binasalah Diri, Bila Binasa Diri Maka Nyatalah Tuhan, Nyata Tuhan-Nya Maka Ma'rifatlah kepada Allah.






PERADABAN FAHAM FIQIH

         Dalam hadist dijelaskan : "Sesunggauhnya malaikat Jibril as turun menemui Adam as, dan berkata kepadanya: Sesungguhnya Allah SWT menyuruhku untuk menawarkan satu pilihan dari tiga pilihan yang ditawarkan-Nya kepada mu, Yakni: Akal, Agama, Rasa Malu. Adam as menjawab: Aku memilih Akal. Maka Rasa Malu dan Agama berkata: Kalau begitu, kami bersama Akal di manapun Ia berada."

      

Dari Hadist diatas, kita dapat menarik hal penting, sebagai berikut :

1.  Segala sesuatu yang ditolak oleh Akal, maka ia tidak termasuk Agama. Dan jika orang yang tidak berAkal, berarti tidak beragama dan tidak mempunyai Rasa Malu, sekalipun ia melakukan Sholat dimalam hari dan berpuasa disiang hari.
        Dari keterangan diatas tadi, salah seorang imam kaum muslimin memberikan komentar : "Tolok ukur yang paling Valid (benar) untuk membedakan antara hadist atau bukan adalah, terletak pada kenyataan yang sebenarnya (maksudnya ialah bahwa hadist itu menggambarkan kondisi yang Obyektif). Dan hadist tersebut berada dibawah naungan sinar terang kebenarannya, jadi apabila ada tidak disinari cahaya yang terang, maka pernyataan tersebut adalah Dhoif atau perkataan Setan la'nattullah.

2.   Selama Agama tidak terpisah dari Akal dalam bentuk apapun, maka menutup pintu ijtihad berarti menutup pintu Agama. Karena arti ijtihad adalah melepaskan belenggu-belenggu yang mengikat Akal serta memperluas wawasan (peluang) untuk menarik beberapa masalah dari akar-akarnya (ushul-nya). Oleh sebab itu, jika kita meninggalkal Akal berarti telah meninggalkan Agama dan tidak mempunyai Rasa Malu, berdasarkan adanya keharusan atas keterkaitan antara keduanya. Dengan kata lain, kalau kita katakan bahwa ijtihad telah tertutup, maka berarti kita harus menutup satu diantara dua bukan ketiganya dari keduanya. Maka bila kita menutup pintu agama, sebenarnya kita cukup untuk menutup pintu ijtihad, atau kita cukup berkata : "Sesungguhnya Akal tidak dapat cukup menjamin (mendukung dan menegakkan) Agama, dan tidak dapat menentukan satu hukum dari beberapa hukumnya Allah SWT; dan dua masalah tersebut sangat jauh dari logika Syara' dan kebenaran.

3.   Orang yang 'alim (ilmuwan, cendikiawan, ulama) yang Fanatik terhadap Satu Mazhab, dalam Mazhab apa saja, maka keadaan orang 'alim yang tadi itu jauh lebih buruk dari orang yang Fasik (bodoh). Karena ia pada saat seperti itu tidak Fanatik pada Agama dan Islam, tetapi justru Fanatik pada Individu Imam Mazhab itu sendiri, kerena Akal kitapun tidak mengharuskan kita mengikuti Imam Mazhab saja secara Khusus. Begitu juga kalau menentang Imam Mazhab dan kita juga tidak menentang Islam dan Tauhid serta Hakekat Kebenarannya Imam Mazhab yang lain, sebab yang benar itu adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan kita mengikuti yang dilukiskan (dipersepsikan) oleh Akal yang menggabarkan Islam dan Hakekat.

       Kita sama-sama mengetahui bahwa pada permula Islam tidak ada Mazhab dan tidak ada Perbedaan Pendapat dan pada awal Islam muncul, Islam itu bersih dari pengaruh luar dan kaum Muslim pada waktu itu mencapai kejayaannya. Juga diketahui dengan pasti, bahwa adanya perbedaan pendapat dan hanya Mazhab-Mazhab itu yang dapat memecah-belah kaum Muslimin serta dapat memperuncing jurang pemisah antara Syi'ah dan Sunni, karena dengannyalah tidak mungkin mereka dapat menyusun kekuatan dan mengatur langkah bersama untuk merumuskan satu jalan untuk mencapai satu tujuan. Tetapi bagi musuh-musuh Islam dan para penjajah justru sebalik nya, yakni mereka dapat peluang atau kesempatan yang sangat baik dari adanya perpecahan dan perselisihan faham antara Islam Syi'ah dan Sunni dan meyebarluaskan berbagai kebencian, kebohong dan Fitnah. Cara yang dilakukan mereka untuk memenangkan wilayah Barat dan Timur serta untuk  menjatuhkan Umat Islam, hanya dengan cara devide et empera (memecah-belah) Kaum Mukminin dengan menyebarkan Isu-Isu yang menggebuk bangsa Timur Tengah.
       Dari keterangan diatas tadi muncullah Ide-Ide dan Pemikiran-Pemikiran para Uli-Amri (pemimpin) yang Ikhlas untuk menyatukan saura dan merangkul semua Jemaah islamiyah sedunia serta berusaha merealisasikan penyatuan pemahaman itu dengan berbagai metode. Diantara salah satunya adalah dengan membuka pintu ijtihad dan memberantas penyelewengan dalam mengikuti Imam Mazhab Fuqaha. Sebab-Sebab yang populer dikalangan Ahli Fiqih yang mengharuskan ditutupnya pintu ijtihad adalah, bahwa kalau pintu ijtihad itu dibuka maka akan dapat mengundang Kontroversi dan perdebatan yang dapat menimbulkan ke-mudharatan dan akan melahirkan sikap Aroganisme dan Terrorisme, sehingga orang yang baru mengenal Islam dan orang yang Ahli pun mengaku Ahli ber-ijtihad. Dalil yang dapat kita renungkan, Seorang Dokter yang bertugas untuk merawat dan mengobati orang yang sakit, malah ia justru bertugas untuk menghilangkan penyakitnya, apakah ini pantas.....???? Qodrta Allah dipakai oleh dokter.

      Keterangan diatas telah ditulis oleh para Ulama terdahulu dalam buku-buku karya mereka, akan tetapi dikemudian hari direalisasikan ulang kembali lagi oleh para Ulama-Ulama sekarang ini, tanpa mau diteliti dan dianalisa lagi secara Detail. Saya sendiri lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa satu-satunya yang menjadikan pintu ijtihad itu tertutup adalah takutnya Pemerintah-Pemerintah yang Zhalim dari adanya kebebasan berpendapat karena pernyataan itu akan dapat menimbulkan dan menyinggung dari Pemerintahan itu sendiri. Dari itulah ia (pemerintah yang Zhalim) mengelabui dan manipulasi masyarakat dengan berkedok sebagai Pembela dan Pemuka Agama, sebagaimana biasa untuk membungkam setiap orang yang Merdeka. Yang tidak mau bermusyawarah terlebih dahulu dan kesemuaan itu dibangun diatas landasan ke-Fasikan (bodoh) dan ke-Bohongan serta ke-Zhaliman. Saya tidak melihat bahwa, seruan untuk membuka pintu ijtihad ini akan nyata, kecuali kekuatan yang mencengkeram Pondasi Kaum Muslimin sudah melemah. Terwujudnya seruan ini dalam kenyataan yang sangat tergantung kepada adanya kemerdekaan dan kebebasan dalam ber-Agama dan Pemahaman yang sebenarnya. Semua bentuk kepatuhan dan ketaatan kepada Pemerintahan dan Uli-Amri yang Tamak bin Rakus, merupakan bentuk penghianaan dan penghambaan terhadap orang-orang yang Rakus itu, dan hidup kita sudah berada dibawah Cengkeraman atau Gemggaman orang yang Zhalim.  Na'ujubilah-hi-minzalik" Oleh sebab itu, sudah saatnya kita (Kaum Muslim) hidup dalam kemerdekaan dan kebebasan dalam mengutarakan pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran paham akan ilmu kita, sebagaimana Nabi dan para Sahabat menjunjung tinggi Agama Islam dari ke-Zhaliman dan ke-Bathilan dari pemerintahan kerajaan Fira'un dan bala tentaranya. Dan sudah saatnya kita meninggalkan taklid pada Satu Mazhab saja, agar kita dapat memahami Hakekat yang sebenar-benarnya. Amin Ya Allah Ya Rabb"....

Kita bebas memilih semua bentuk atau hasil ijtihad dari semua Mazhab yang sesuai dengan perkembangan hidup atau zaman yang sesuai dengan Akidah dan Hukum Islam. Bila tidak ada pilihanan dari berbagai Imam Mazhab sebagai ijtihad yang Mutlak, maka ijtihad merupakan salah satu bentuk ijtihad. Dari berbagai kalangan dan pemikiran itulah, saya menghimpun pemikiran semua para ulama Mazhab, lalu saya tuangkan dalam bentuk Artikel (Google) yang merupakan ringkasan dari pendapat-pendapat Para Ulama Imam Mazhab yakni : Ja'Fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, yang diambil dari sumber dan karyanya seperti Al-Qur'an, Hadist, Ijma', Dalil Aqli dan Dalil Fiqli. Diantara beberapa pendapat itu, ada yang menegakkan keadilan dan kebenaran serta ada juga yang harus ditutupi mungkin tidak cocok dengan pemahaman kita. Pribadi saya, saya tidak suka menerima pendapat ini karena saya tidak mau menjatuhkan kehormatan Fiqih dan Para Ahli Fiqih-Nya, saya akan menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat pada ulama fiqih, bagi yang mau memahaminya.....!!!!

Contoh Perbedaan Pendapat Para Ulama Imam Mazhab (Fiqih) :
Imamiyah, Syafi'i, Hanafi dan Maliki mereka sependapat bahwa, Zakat boleh dikeluarkan untuk saudara-saudara lelaki dan paman dari ayah. Didalam masalah ini Imam Ibnu Hambali menguraikan ada Dua riwayat antara lain : Membolehkannya dan Melarangnya.
Maka saya memetik dengan yang disepakati oleh Mazhab-Mahzab yang lain.
Dari sinilah kita bisa menela'ah mana yang Sahih mana yang Dhoif, dan tidak ada lagi pedebatan dalam pemahaman.





DATA RIWAYAT IMAM MAZHAB

Imam Ja'Far Ash-Shadiq (Ja'fari/Imamiyah) bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin (Ali bin Abi Thalib Suami Dari Fatimah Az-Zahra binti Rasulallah Muhammad SAW). Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijrah (699 Masehi), Ibundanya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Beliau terdapat perpaduan darah Nabi SAW denagn Abu Bakar As-Siddiq ra dan beliau (Ja'Far Ash-Shadiq) berguru dengan ayahndanya Muhammad Al-Baqir.

Imam Abu Hanifah (Hanafi) An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. beliau masih mempunyai pertalian hubungan keluarga dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra, bahkan Imam Ali pernah berdo'a kepada Tsabit agar diberkahi keturunannya. Dan tak heran jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang Ulama Besar seperti Abu Hanifah (Hanafi), beliau lahir tahun 80 Hijrah (699 Masehi).

Imam Malik (Maliki) bin Anas dilahirkan di Madinah pada tahun 93 Hijrah (712 Masehi), beliau berasal dari Kabilah Yamaniah. Sejak Kecil beliau rajin menghadiri Majelis-Majelis Taklim, sehingga beliau telah Hafal Al-Qur'an (Al-Hafis) dan tak kurang dari itu, ibunda Imam Maliki juga mendorong Prestasi beliau agar senantiasa giat menggali/menuntut Ilmu Allah (Qalamallah) dan disamping itu beliau juga mempelajari Ilmu Fiqih dan Tauhid.

Imam Syafi'i bin Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Quraisyi, beliau lahir di Gaza (Palestina) pada tahun 150 Hijrah (769 Masehi) bertepatan dengan Wafatnya Imam Abu Hanifah (Hanafi). Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan satu keluarga yang tidak punya apa-apa (miskin) tetapi beliau tidak merasa rendah hati apalagi pemalas. Dan malah sebaliknya, beliau bahkan gemar membaca Al-Qur'an dan Hadist serta Fiqih dan Tauhid dari pada Ulama-Ulama yang terdapat di Mekkah.

Imam Ahmad Hambali bin Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hilal Al-Syaibani, beliau lahir di Baghdad pada rabiul awal tahun 164 Hijrah (780 Masehi). Ahmad bin Hanbal dibesarkan dalam keaadan yatim oleh ibundanya, karena ayahndanya Wafat ketika Imam Hambali masih Baiy (Balita). Sejak kecil beliau sudah cenderung sifat dan krakteria kePribadian yang Ma'ruf (Baik), dari kecil itulah beliau telah menunjukan minatnya untuk menggali Ilmu Pengetahuan (Qalamallah), dan kebetulan pada saat itu di baghdad, merupakan pusat kota Ilmu Pengetahuan, dan beliau belajar menghafal Al-Qur'an dan kemudian belajar bahasa Arab, Hadist, Sirroh Nabi dan Sirroh Sahabat para Tabi'in.


Semoga Artikel Ini Bermanfaat Bagi Kita Semua..... Amin, Amin Ya Rabbal-Alamin.
 ( THAREQAT SYATTARIYAH )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar