Selasa, 01 Desember 2015

MAKNA IDUL FITRI dan HALAL BI HALAL












A. MAKNA IDUL FITRI 1436 H


"Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah".
 
(QS. Ar-Rum ayat 30).


        IDUL FITRI sebentar lagi segera hadir kembali sebagai penutup ibadah puasa Ramadhan tahun 1432 Hijriyah ini. Sebagaimana ia selalu hadir setiap tahun. Kaum muslimin pun tentu telah bersiap-siap dengan penuh kegembiraan dan keceriaan untuk menyambut dan merayakannya. Namun sudah benarkah sikap dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan perenungan dan muhasabah (introspeksi dan evaluasi diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri. Syi’ar dan Hari-nya Allah Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan langsung oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Hibban). Maka Idul Fitri – dengan demikian – merupakan salah syi’ar dan hari-nya Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),


”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti dan wujud) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj ayat 32). 


Dan sebaliknya kita tidak boleh menyambut dan merayakannya dengan cara-cara yang justru menjauhkan diri kita dari Allah dan hati kita dari ketaqwaannya. Disini juga perlu diingatkan bahwa, masalah hari raya yang merupakan syi’ar dan hari-nya Allah, baik fitri maupun adha, bukanlah masalah shalat id, seperti yang dipersepsikan banyak kalangan selama ini. Melainkan ia adalah masalah merayakan hari. Makanya disebut hari raya, yakni hari yang dirayakan. Dimana shalat id hanyalah salah satu saja diantara syi’ar-syi’arnya. Dan merayakan hari itu tidak bisa sendiri-sendiri atau masing-masing. Melainkan harusnya serempak dan bersama-sama. Agar semua bisa merasakan dan memiliki hari raya yang utuh dan penuh, sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, generasi salafus saleh dan khalafus shaleh semuanya. Sementara itu, ketika terjadi perbedaan penentuan hari raya, seperti yang hampir pasti terjadi lagi untuk idul fitri tahun ini, hari id yang dirayakan oleh masing-masing kelompok ummat, tidak lagi merupakan hari raya yang utuh dan penuh, melainkan hanya separoh hari raya saja. Karena separohnya yang lain telah atau baru akan dirayakan oleh kelompok yang lain. Belum lagi bila ternyata “hari raya”-nya justru lebih dari dua, maka masing-masing akhirnya hanya memiliki sepertiga atau bahkan sperempat hari raya saja. Jadi akhirnya, sebenarnya mana yang benar-benar hari raya itu? Hari Kegembiraan dan Perayaan Semua kita bergembira dan bersuka ria saat menyambut Idul Fitri. Memang, dibenarkan dan bahkan disunnahkan kita merayakan Idul Fitri dengan hal-hal yang menyenangkan dan menggembirakan, termasuk misalnya dengan tampilan beragam permainan yang syar’i. Tapi yang perlu menjadi perenungan dan introspeksi kita adalah bahwa kegembiraan yang kita rasakan haruslah merupakan buah syukur kita kepada Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk bisa mengoptimalkan pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka menggapai taqwa. Dan bukan kegembiraan yang muncul karena merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban yang memberatkan, mengekang dan membelenggu! Pembaharuan Deklarasi Tauhid Dalam menyambut Idul Fitri juga Idul adha, disunnahkan bagi kita untuk banyak mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sebagai bentuk penegasan dan pembaharuan deklarasi iman dan tauhid. Itu berarti bahwa identitas iman dan tauhid harus selalu kita perbaharui dan kita tunjukkan, termasuk dalam momen-momen kegembiraan dan perayaan, dimana biasanya justru kebanyakan orang lalai dari berdzikir dan mengingat Allah.  Simbol Ukhuwah dan Persatuan Puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah dan momen syi’ar jama’iyah (kolektif/syi’ar kebersamaan), dimana semestinya seluruh kaum muslimim memulai puasa secara bersama-sama, mengakhirinya secara bersama-sama, dan bergembira dalam merayakan Idul Fitri serta Idul Adha juga secara bersama-sama, khususnya dalam satu wilayah tertentu. Tapi kaidah itu ternyata tidak mudah direalisasikan saat ini. Kita masih sering berbeda dan berselisih, termasuk kemungkinan besar dalam ber-Idul Fitri tahun ini. Ini memang realita yang harus kita sikapi dengan arif dan hikmah. Namun kita semua patut berharap dan juga harus selalu berusaha agar hendaknya suatu saat bisa dicapai kata sepakat antar organisasi dan tokoh umat Islam untuk bisa menyatukan penentuan awal dan akhir Ramadhan, Idul Fitri serta Idul Adha. Karena kita tidak menemukan contoh dalam sejarah Islam adanya perbedaan dalam berpuasa dan berhari raya dalam satu wilayah apalagi satu kota lebih-lebih satu kampung dan dalam satu rumah, sebagaimana yang terjadi saat ini, disini, di negeri ini. Yang pernah terjadi sejak masa sahabat hanyalah perbedaan antar wilayah yang berjauhan, seperti yang kita dapati dalam hadits Kuraib (HR Muslim, Ahmad dan lain-lain) dimana Ibnu ‘Abbas dan para sahabat di Madinah tidak mengikuti hasil ru’yah Khalifah Mu’awiyah dan kaum muslimin di Syam, namun berpegang pada hasil ru’yah lokal di Madinah sendiri. Sementara itu jika saat ini ada sebagian kaum muslimin yang sangat bersemangat untuk mengikuti ru’yah secara global (ru’yah ‘alamiyah), maka hal tersebut memang ideal dalam tataran wacana. Namun dalam realitas saat ini hal tersebut sangat tidak ideal, tidak logis, dan bahkan tidak syar’i. Karena bagaimana mungkin kita ingin bersatu – dalam berpuasa Ramadhan dan berhari raya – dengan kaum muslimin di wilayah dan negara lain yang sangat jauh, semisal di Timur Tengah, namun kita justru berbeda dan berselisih dengan kaum muslimin yang ada di sekitar kita? Yang semestinya dilakukan adalah mengusahakan penyatuan itu dimulai dari wilayah-wilayah yang terdekat untuk kemudian pada saatnya bisa dicapai persatuan seluruh dunia Islam. Itulah beberapa makna Idul Fitri yang patut kita renungkan dan hayati. Semoga saja Idul Fitri kali ini bisa benar-benar lebih bermakna bagi kita semua.


Ya Allah, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 127).









B. PENGERTIAN IDUL FITRI dan HALAL BIHALAL      


Ada dua hari raya yang dipandang sah dalam Islam, idul fitri dan idul adha. Sedangkan hari-hari besar Islam lain yang biasa diperingati oleh umat Islam Indonesia seperti perayaan tahun baru hijriyah, isra dan mi’raj, maulid Nabi, dan nuzulul Qur’an adalah hari raya “budaya Islam”, bukan hari raya “agama Islam”.
Jika Amerika mengenal ada perayaan “Thanksgiving Day”, yang diperingati setiap tahun pada hari Kamis keempat bulan November, oleh rakyat negeri itu dengan bersuka-ria dan bersyukur kepada Tuhan bersama keluarga, maka di Indonesia ada perayaan “idul fitri”, di mana gerak mudik rakyat Indonesia terdorong kuat untuk bertemu keluarga, ayah-ibu, sanak-saudara yang dikemas dalam budaya silaturrahim dan halal bi halal. 

Makna Idul Fitri

Idul fitri terdiri dari kata ‘id dan al-fithr. Kata ‘id berasal dari akar yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘aadah atau ‘aadatun dan isti’aadatun. Semua kata tersebut mengandung makna asal “kembali” atau “terulang”. Ungkapan bahasa Indonesia “adat-istiadat” adalah serapan dari bahasa Arab ‘aadat wa isti’aadatun yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni sebagai “adat kebiasaan”. Dalam bahasa Arab, hari raya diartikan dengan ‘id, karena ia akan selalu datang kembali berulang-ulang secara periodik setiap tahun. 

Sedangkan al-fithr adalah satu akar dengan kata al-fihtrah, yang berarti “kejadian asal yang suci” atau “kesucian asal”. Secara kebahasaan, fithrah searti dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Allah sebagai Maha Pencipta adalah makna dari kata al-Khaliq atau al-Fathir. Dalam perkembangannya, istilah al-fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, kata Nurcholis Madjid (2000), semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semua itu bernilai kebaikan dan kesucian karena semuanya itu berasal dari desain penciptaan Tuhan. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” setelah tadinya berpuasa juga disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan “memenuhi fitrah” yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fitrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan manusia berusaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan lain sebagainya. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Saya mendengar bahwa kamu (Abdullah bin ‘Amr bin As) puasa sepanjang siang hari dan bangun untuk selalu salat malam? Benar, Ya Rasulullah. Beliau kemudian mengingatkan dengan sabdanya: “Janganlah berbuat begitu, berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah untuk salat malam, karena sesungguhnya bagi tubuhmu ada hak, bagi kedua matamu ada hak, bagi isterimu ada hak dan bagi tamu juga ada hak”. Hadis ini menerangkan bahwa segala tindakan manusia yang meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fitrah. 

Berangkat dari pemahaman tentang arti idul fitri tersebut, dalam perayaan idul fitri -setelah selesai berpuasa selama bulan Ramadan- terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan, yaitu wajar untuk memenuhi keperluan makan dan minum sampai kembalinya manusia kepada fitrah dalam arti mentauhidkan Allah dan hanya ingin berbuat yang baik dan benar. 
Fitrah terkait dengan hanif, artinya suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Nabi saw bersabda:

الْبِرُّ مَااطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ 

Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa merasa tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah dan menimbulkan kebimbangan dalam dada (HR. Ahmad dan lain-lain. Syekh Al-Albani menilai hadis ini hasan) 

Hadis tersebut menerangkan bahwa perbuatan dosa adalah tindakan yang bertentangan dengan hati nurani, tidak sesuai dengan fitrah yang suci. Karena itu, idul fitri dapat berarti kembali kepada hati nurani, yang hanya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Keadaan ini hanya bisa diraih oleh orang yang benar-benar telah melatih dirinya dengan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Nabi Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan ibadah puasa atas dasar iman dan penuh perhitungan, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Idul fitri berarti kembali kepada kesucian. Kesucian, kata Quraish Shihab (1992), adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-idul fitri dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang indah, baik dan benar. Bahkan lewat kesuciannya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia akan selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika dan mencari yanag benar menimbulkan ilmu. Dengan pandangan demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan apabila hal itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan. 

Menyambut Idul Fitri

Idul fitri adalah hari raya umat Islam setelah selesai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Idul fitri artinya kembali kepada kesucian (fitrah). Setiap pribadi muslim yang telah menyelesaikan ibadah puasa dengan dasar iman dan penuh perhitungan, ia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, bagaikan bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. 

Untuk mengagungkan dan memarakkan suasana idul fitri, disunnahkan : 

Pertama, mengagungkan asma Allah dengan melaksanakan “takbiran”, yakni mengumandangkan takbir, tahmid dan taqdis, mulai dari terbenamnya matahari pada malam iduli fitri hingga shalat iduli fitri dilaksanakan; Contoh lafal takbir menurut riwayat Umar dan Ibn Mas’ud (baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/275) adalah sebagai berikut:

أَللهُ اَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Bagi Allahlah segala puji

Kedua, Pada saat hari raya idul fitri di sunnahkan melakukan hal-hal sbb: a). Mandi besar, sebelum shalat idul fitri; b). Memakai pakaian yang baik dan sopan disertai harum-haruman; c). Makan dan minum sekedarnya sebelum berangkat menuju ke tempat shalat idul fitri, sebagai tanda bahwa hari itu sudah tidak puasa; d). Menempuh perjalanan menuju tempat shalat dan kembali dari shalat melalui jalan yang berbeda; e). Melaksanakan shalat sunnah idul fitri dua rakaat secara berjamaah di lapangan; f). Mengadakan silaturrahim (halal bi halal) antara satu dengan yang lain, setelah shalat idul fitri. Dan bila bertemu antara satu dengan yang lain dianjurkan mengucapkan : 

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

“Semoga Allah berkenan menerima amal-amal kita”
(Sabiq, Fiqhus Sunnah, Vol. I, 274. Baca juga al-Albani, Tamamul Minnah, 335)

Halal bi Halal

Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sudah mengakar di negeri ini. Pelaksanaannya biasa dilakukan setelah shalat idul fitri atau dalam suasana lebaran. Inti dari kegiatan halal bi halal ini adalah sama dengan silaturrahim.
Jika dilihat dari asal-usul istilah halal bi halal, memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Bahkan dalam kamus bahasa Arab pun tidak ada istilah halal bi halal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka terdapat keterangan bahwa halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Atas dasar ini, maksud halal bihalal sesuai dengan istilah bahasa Indonesia adalah untuk menciptakan suasana saling memaafkan antara satu dengan yang lain (Tim Penyusun Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hal, 293). 

Berdasarkan maksud penyelenggaraan halal bi halal tersebut, ada ulama yang berusaha melakukan identifikasi mengenai asal-usul istilah halal bi halal ini. Menurutnya, istilah halal bi halal ini mungkin diambil dari ungkapan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيْهِ فِى عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ 
فَلْيَتَحَلّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ (رواه البخارى)

“Barangsiapa melakukan penganiayaan (kesalahan) terhadap orang lain, baik menyangkut kehormatan ataupun yang lain, maka hendaknya pada saat itu juga minta dihalalkan/dimaafkan”. (HR. Al-Bukhari)

Pada hadis tersebut terdapat ungkapan bahasa Arab “fal yatahallalhu”, yang artinya hendaknya minta dihalalkan atau dimaafkan. Kata-kata inilah yang diambil oleh ulama Indonesia tempo dulu dalam rangka menciptakan suatu momen di mana antara satu orang dengan yang lain bisa saling memaafkan. Istilah saling halal menghalalkan ini kemudian didekatkan dengan kaidah bahasa Arab sehingga menjadi halal bi halal. 

Dengan demikian, halal bi halal bukanlah asli istilah dari Arab, tetapi sengaja dibuat oleh ulama Indonesia dengan menggunakan kosakata Arab.
Sebenarnya perintah untuk saling halal-menghalalkan atau maaf-memaafkan antara satu dengan yang lain, bukanlah hanya pada saat lebaran atau dalam suasana idul fitri saja, akan tetapi berlaku sepanjang waktu, kapan saja, di mana saja bilamana telah melakukan kesalahan atau penganiayaan kepada orang lain. Imam al-Kahlani al-Shan’ani dalam kitabnya “Subul al-Salam” mengatakan bahwa berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menunjukkan “wujub al-istihlal”, yakni kewajiban meminta maaf kepada orang yang didzalimi. 

Mengenai ditempatkannya acara halal bi halal pada suasana lebaran atau suasana idul fitri, hal ini ada hubungannya dengan amalan ibadah puasa. Salah satu bukti orang yang berhasil melakukan ibadah puasa adalah munculnya sikap atau kepribadian yang positif, di antaranya adalah suka memaafkan kepada orang lain. Nah, dengan melakukan halal bi halal yakni saling memaafkan antara satu dengan yang lain, diharapkan hal itu menjadi salah satu bukti keberhasilan ibadah puasanya. Orang inilah yang insya Allah akan benar-benar dapat menikmati hakikat ber-idul fitri.
Wallahu a’lam ! 





Catatan Ahlul Bait dan Ahlul Sunnah :
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadan 30 hari) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.” - See more at: http://smadia.blogspot.com/2012/08/hadits-dan-ayat-tentang-idul-fitri.html#sthash.n3bEcg6w.dpuf

Jangan pernah kamu menyakiti sahabatmu sendiri, karena sahabat adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa Dia tidak ingin kamu sendirian dalam menjalani hidup. (Lafadz Abdul Muhyi)


Semakin kita terlalu berharap selain kepada Allah, maka bersiap-siaplah kita untuk semakin kecewa. Sesungguhnya Orang yang mengajari kamu sepatah ilmu yang dibutuhkan dlm urusan agama adalah menjadi bapakmu dalam beragama. Jangan kau temani pemalas,hindarilah semua tingkahnya,banyak orang saleh menjadi rusak krn imbas dari orang lain.
 (Lafadz Abdul Karim Jama'a)


Jangan habiskan waktumu memimpikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi ketika kamu bisa bangun dan membuat sesuatu terjadi. Hal yang menyakitkan ketika kamu kehilangan seseorang adalah kenyataan bahwa dia tidak berusaha ununtuk mempertahankan hubungan kalian.(Ijma'a Syattariyah)



Sebaik-baik manusia ialah yang diharapkan kebaikannya dan terlindung dari kejahatannya. Berbaik sangka itu lebih baik. Ikhlaskan hati, Ceriakan wajah serta tersenyumlah, dan lihatlah hasilnya. (Lisan Abdul Rauf)



Relakan jika memang harus berakhir. Karena akhir sebuah kisah adalah pertanda bahwa akan ada kisah yang baru. Luka terdalam adalah luka yang tidak bisa dilihat oleh mata, dan kesedihan terdalam adalah kesedihan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Terkadang bukan karena kebohongan kamu membenci sesorang, tapi karena sedih menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa lagi kamu percaya. (Furqon Hamzah Fansuri)

Barang siapa menghayati malam Hari Raya Aidil Fitri dan malam Hari Raya Aidil Adha dengan amal ibadah sedang dia mengharapkan keredaan Allah semata-mata hatinya tidak akan mati seperti hati orang-orang kafir. (Ibnu Thabrani)

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadan 30 hari) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.” - See more at: http://smadia.blogspot.com/2012/08/hadits-dan-ayat-tentang-idul-fitri.html#sthash.n3bEcg6w.dpuf“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadan 30 hari) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.” - See more at: http://smadia.blogspot.com/2012/08/hadits-dan-ayat-tentang-idul-fitri.html#sthash.n3bEcg6w.dpuf
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185)


“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadan 30 hari) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.” - See more at: http://smadia.blogspot.com/2012/08/hadits-dan-ayat-tentang-idul-fitri.html#sthash.n3bEcg6w.dpuf
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadan 30 hari) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.” (Tafsir Jamal Riva'i Quddus : Qur'an Al-Baqarah ayat 185)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar