Selasa, 01 Desember 2015

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR













A. Pokok-Pokok Ajaran Agama


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Esa. Shalawat dan salam kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdullah, serta keluarga dan sahabat beliau.
Setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan moment tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun. Dan Allah mengetahui kecenderungan yang ada dalam diri manusia ini, karenanya Dia memberi petunjuk untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, dan ibadah kepada Allah.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya. Lalu beliau bertanya, "Dua hari apa ini?" Mereka menjawab, "Dua hari yang kami bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya pada masa Jahiliyah." Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata kepada Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, "Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita." (HR. Bukhari).
Dua hadits ini menjadi dalil bahwa hari raya umat Islam hanya dua tersebut. Berbeda dengan hari raya selainnya, baik yang bersifat keagamaan, kenegaraan, atau duniawi.
Banyak sekali nas syar'i yang menerangkan karakteristik umat ini yang berbeda dengan umat, agama, dan kelompok lainnya, agar menjadi umat terbaik. Yaitu umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menjadi rasul terakhir dengan kitab suci al-Qur'an.

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).

Dalam hadits Mu'awiyah bin Haidah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian yang terbaik dan paling mulia di mata Allah 'Azza wa jalla." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Beliau bersabda lagi, "Penghuni surga ada 120 baris. Sedangkan umat ini sebanyak 80 barisnya." (HR, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Namun kenyataannya, pada zaman ini banyak umat Islam yang tidak memahami posisi dan kedudukan mereka. Malahan mereka tertarik dengan perayaan hari Natal dan tahun baru yang menjadi syi'ar agama Kristen. Hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman yang benar dan lemahnya ikatan aqidah mereka. Sehingga mereka terkadang ikut-ikutan dengan budaya dan tradisi orang kafir, antara lain:
  1. Saling mengucapkan selamat hari raya Natal, saling kirim kartu lebaran baik melalui pos atau internet.
  2. Ikut serta memeriahkan hari Raya Natal di gereja, hotel, gedung serba guna, atau melalui media elektronik.
  3. Membeli pohon natal dan memasang patung Sinterklas (Santa Claus) yang katanya mencintai anak-anak dengan membagi-bagikan hadiah sejak malam Natal hingga malam      tahun baru.
  4. Bermaksiat, melakukan kejahatan, dan mabuk-mabukan pada malam tahun baru serta bentuk-bentuk lainnya.
Hari raya Natal dan tahun baru tidak boleh dijadikan sebagai hari yang dirayakan oleh umat Islam, dengan dua alasan: 

Pertama
,
 mengandung nilai keagamaan yang kufur. Yaitu menyandang sifat tuhan kepada Al-Masih Isa bin Maryam, reinkarnasi, memberhalakan Isa, menganggapnya sebagai anak Allah, disalib, dan keyakinan lainnya.

Kedua
, 
mengandung nilai kefasikan, berbuat seenaknya, berakhlak seperti binatang yang tak pantas ditiru manusia, terlebih oleh orang beriman.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sangat tegas melarang ritual seperti ini. Dalam hadits shahih disebutkan, ada seseorang bernazar di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah”, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata: “Tidak”, beliau bersabda: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?.” Mereka berkata : “tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahih).

Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash Radhiyallahu 'Anhu, beliau berkata:
Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.




B. Muqodimmah Jama'ah


Sesungguhnya di antara kekufuran yang nyata dan mengeluarkan dari Islam adalah berpaling dari agama Allah 'Azza wa Jalla, tidak mau mempelajari dan mengamalkannya. Dan inilah yang disebutkan oleh Alim Ulama dalam Muqodimmah "Nawaqidl al-Islam" (Pembatal-pembatal keislaman), sebagai pembatal keislaman yang terakhir. Dasarnya adalah firman Allah Ta'ala:

"Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (QS. Al-Sajdah: 22)

"Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al-Quran). Barangsiapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya dia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalamnya dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat." (QS. Thaha: 99)
Yang dimaksud dengan berpaling di atas adalah masa bodoh (acuh) dan tidak mau mempelajari masalah pokok agama islam yang dengannya seorang menjadi muslim, walaupun mungkin masih jahil terhadap cabang-cabangnya, karena masalah ini hanya dikuasai para ulama.

Sesungguhnya kondisi manusia sangat berbeda-beda. Perbedaan mereka ditentukan oleh tingkat keimanan mereka, selama pokok iman masih ada. Sedangkan peremehan dan syirik terjadi terhadap kewajiban dan masalah-masalah sunnah yang tingkatannya di bawah itu. Namun, apabila pokok iman yang bisa memasukkan dirinya ke dalam Islam tidak ada lalu dia berpaling secara keseluruhan, maka inilah bentuk kekufuran dan berpaling dari Islam.
I'radh 'amali (berpaling dengan amal) ada dua bentuk: 

Pertama, berpaling dari keyakinan Islam secara total dan keseluruhan. Dan ini masuk dalam bagian masalah meninggalkan jenis amal. Dan meningalkan jenis amal terhitung berpaling dari amal Islam secara keseluruhan. Dan ini masuk dalam pembatal ke-Islaman ditinjau dari sisinya. Dan sepertinya, ini yang nampak dari perkataan Para Ulama-Ulama dan Kiyai terdahulu.


Kedua, tidak mau komitmen dengan hukum-hukum Allah dan Syariat-Nya. Ini merupakan sikap berpaling yang bersifat khusus, hanya terjadi terhadap hukum dan undang-undang. Sengaja tidak komitmen terhadap Islam bisa dikafirkan apabila meninggalkan sikap komitmen terhadap salah satu hukum syariah. Bentuknya, tidak mengharamkan apa yang Allah haramkan dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya, dan tidak mewajibkan apa yang telah Allah wajibkan.


Masing-masing dari keduanya menjadi pembatal yang berdiri sendiri. Karenanya membutuhkan penjelasan yang lebih rinci secara mendetail (telitih). Meninggalkan semua jenis amal, Ini adalah persoalan yang sudah disepakati umat. Bahkan, terdapat penjelasan dari sebagian ulama Tasawuf yang menghukumi kafir orang yang tidak mengafirkan siapa yang meninggalkan jenis amal. Nash-nash tentang bab ini sangat banyak, terkadang disebutkan dengan lafadz tawallai dan terkadang dengan i'radh dan lafadz yang semisal. Sesungguhnya iman adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Siapa yang tidak memiliki amal sedikitpun maka imannya tidak sah karena tidak memiliki salah satu rukunnya. Dan ini masalah pokok yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya.

"Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." (QS. Al-A'raaf: 59, 65. 73, 85; Huud: 50, 61, 84; Al-Mukminun: 23, 32

"Sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakan kalian." (QS. Al-Baqarah: 21) 

Dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya.
  
Sesungguhnya tauhid memiliki dua rukun, yaitu ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Dan siapa yang tidak mengamalkan sedikitpun dari amal Islam maka dia meninggalkan salah satunya.
Kekafiran orang yang meninggalkan seluruh amal termasuk kufur amali, walaupun secara realita tidak mungkin terjadi kecuali orang yang hatinya sudah kafir. Rasanya tidak mungkin ada pokok keimanan dalam diri seseorang kalau tidak mendorongnya untuk beribadah kepada Allah dan bertaqarrub kepada-Nya dengan satu amal-pun. 

Meninggalkan iltizam (tegas), Ini persoalan yang lain lagi. Boleh jadi seseorang melaksanakan shalat, puasa, dan haji lalu menolak untuk tegas dalam dirinya dengan hukum-hukum Allah seperti syari'at dan ma’rifat serta pengharaman khamar (minuman keras), maka dia menjadi kafir yang murtad dari agamanya. Tidak mau tegas (komitmen) dengan syari'at dan ma’rifat Islam yang memiliki beberapa bentuk, di antaranya enggan atau menolak salah satu syari'at ataupun ma’rifat, sebagaimana yang diputuskan para sahabat untuk mengafirkan orang yang menentang kewajiban zakat. Di antaranya lagi, menolak hukum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan kaum munafikin:


"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (QS. An-Nisa': 61)


Di antara syarat Laa Ilaaha Illallaah adalah tunduk dan menerima kalimat tauhid itu serta menerima tuntutannya. Barangsiapa yang tidak mau tegas dalam diri dan hatinya, dengan apa yang datang dari sisi Allah dan Rasul-Nya, tidak mau tunduk dan menerima, walau mungkin dia termasuk orang yang faham tapi tidak mau mengamalkan, dia memahami persoalan tauhid lalu berpaling darinya, maka dia telah kafir. Inilah bentuk kekufuran Iblis laknatullah 'alaih. Dia enggan menerima perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Dan sebelum penolakannya itu dia tidak kafir. Kemudian dia menjadi kafir dengan perbuatannya dan manjadi pentolannya kaum kafirin sehingga layak mendapatkan laknat hingga hari berbangkit. Adapun i'radh 'amali terbagi menjadi dua: 

Pertama, berpaling dari mempelajari pokok agama islam dan persoalan yang menjadi syarat sahnya iman dan Islam. Siapa yang menerima Islam dan mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah lalu berpaling dari Islam, dengan tidak mau mempelajari kewajiban-kewajiban yang harus ia laksanakan, tidak mau mempelajari rukun Islam, tidak mau mempelajari shalat, puasa dan tidak mau mempelajari sesuatu untuk sahnya ibadah dia, maka orang tersebut menjadi orang kafir yang berpaling dari ajaran Islam Syar’i maupun Kasyfi.
Begitu juga orang yang bersyahadat Laa Ilaaha Illallaah wa Anna muhammad rasulullaah, lalu berpaling dari mengenal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan hak-hak beliau yang wajib ditunaikannya dan berpaling dari mengenal Allah (ma’rifatullah) dan mengenal sifat Allah (wujuddiyah) dan hak-hak-Nya yang wajib diketahui setiap orang, maka dia sudah kafir sebagaimana orang di atas. 
Kedua, berpaling dari salah satu hukum Islam yang tidak pokok. Ini tidak menjadi pembatal dengan sendirinya. Karena sebagian orang ada yang meninggalkannya karena bodoh. Dan kebodohan semacam ini menjadi penghalang (udzur) untuk dikafirkannya seseorang yang melakukan pembatal keislaman. Tidak semua orang kafir itu mengetahui lantas menentang, tapi di antara mereka ada yang tidak mengetahui kebenaran sehingga melakukan kekufuran. Allah Ta'ala berfirman,

"Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling." (QS. Al-Anbiya': 24)
Apabila kejahilan sebagai dosa yang tersendiri bagaimana bisa menjadi penghalang untuk dikafirkan pelakunya? Kejahilan yang bisa menjadi udzur adalah bodoh secara alami (terpaksa) yang tidak bisa dihilangkan. Sedangkan orang yang mungkin bisa belajar dan berilmu, tidak diberi udzur dalam masalah-masalah dzahiriyah dari agama islam. Wallahu a'lam.




Allah Ta’ala berfirman:


"Dan hampir-hampir mereka itu merusak (keyakinanmu) terhadap ayat-ayat yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengadakan kata kata dusta akan kami (dengan perintah) selain Nya. Selanjutnya (apabila engkau mentaati mereka) pastilah mereka menjadikan dirimu sebagai kekasih. Dan apabila tidak Kami teguhkan (keimananmu) sungguh hampir-hampir engkau condong sedikit kepada mereka. Dan apabila engkau telah condong kepada mereka (orang orang musyrik) itu, Kami timpakan kepadamu siksa yang berlipat lipat di dunia dan siksa yang berlipat-lipat setelah kematian, kemudian engkau tidak akan mendapatkan pertolongan sedikitpun dari Kami" (Qs. Al-Isra’ 73-75).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: "Sesungguhnya kalian terbiasa mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian urusan itu lebih ringan dari sehelai rambut. Akan tetapi kami (para sahabat) dahulu ketika Rasul masih hidup, meyakininya sebagai mubiqaat (penghancur keimanan)."




Asbaabub Nuzul
Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum: “Suatu hari keluarlah Umayyah bin Khalaf dan Abu Jahal berserta beberapa tokoh kafir Quraish yang lain, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Muhammad, datanglah engkau (ke tempat peribadatan kami) kemudian SENTUHLAH BERHALA BERHALA KAMI, maka kami pasti masuk Islam karenanya.” Rasul begitu besar keinginan agar orang-orang itu masuk Islam, maka beliau condong untuk melaksanakan hal itu. Akan tetapi turunlah firman Allah di atas. (HR. Ibn Mardawaih dan Ibnu Abi Hatim, dengan sanad Jayyid)

"Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim (kafir) sehingga kamu pasti terbakar api neraka, dan kamu tidak akan mendapatkan penolong selain Allah, kemudian mereka itu pun tidak akan mampu memberikan pertolongan kepadamu" (QS. Hud: 113)


Dan telah diturunkan (ajaran) kepada kalian, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah dipermainkan dan diingkari maka janganlah sekali kali kalian duduk bersama mereka (orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah dan mengingkarinya), sehingga mereka mengalihkan pembicaraan kepada pembicaraan yang lain. (Apabila) kalian tetap duduk-duduk bersama mereka ketika mereka mempermainkan ayat-ayat Allah) maka kalian sama dengan mereka. Sesungguhnya Allah mengumpulkan orang-orang munafik dan orang kafir seluruhnya di dalam neraka Jahanam. (QS. An-Nisa’ 140)


"Dan sekali kali tidak akan pernah ridha kepadamu orang-orang Yahudi dan tidak pula Nasrani, sehingga kalian mengikuti kebiasaan (agama) mereka" (QS. Al-Baqarah: 120)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari bagian kaum itu" (HR. Abu Daud, Kitabul Libas: 4/314. Ahmad, al Musnad: 7/142 no: 5114. Hadits shahih)
"Sungguh kalian pasti mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga apabila mereka masuk ke dalam lobang biawak tentu kalian mengikuti mereka. Kami bertanya: “Ya Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasranikah?” Rasul menjawab: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Al-Bukhary, Kitabul I’tisham: 13/300. Muslim, Kitabul Ilmi: 4/2154, no: 2569)
Bukan golongan kami orang-orang yang bertasyabbuh dengan orang-orang selain golongan kami. (HR. At-Tirmidzi, as-Sunan: 7/335, no: 2696. hadits hasan)
"Sesungguhnya orang orang Yahudi dan Nasrani itu tidak beragama. Maka selisihilah mereka" (HR. al Bukhary, Kitabul Anbiya: 6/496. Muslim: Kitabul Libas: 3/1663, no: 2103)
"Selisihilah orang orang Yahudi" (HR. Abu Daud, Kibush Sholah: 1/147. no: 652. Hadits shahih)
Pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya, di mana mereka bersenda-gurau di dua hari itu. Maka Rasul bersabda: Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari dimana kalian bersenda-gurau di dalamnya. Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari pada keduanya. Yaitu hari ‘Idul Fitri dan hari raya Qurban. (HR. Ahmad: 12362)
  
Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhum berkata: Jauhilah orang-orang asing dan kaum musyrikin di hari raya mereka, di gereja-gereja mereka. Sesungguhnya murka Allah pasti menimpamu apabila engkau melakukan hal yang dilarang itu. (HR. al-Baihaqy. Dalam Iqtidha’: 192 dan 197)
Abdullah bin Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhum berkata: Barangsiapa menetap di wilayah orang-orang musyrik, membuat hidangan untuk hari raya mereka dan menyerupai mereka, hingga orang itu meninggal. Maka dia akan berkumpul bersama orang-orang musyrik itu di hari kiamat kelak. (Iqtidha’ Shiratal Mustaqim: 84)



Ibnul Qoyyim al jauziyyah: Adapun ucapan selamat terhadap simbol simbol kekufuran secara khusus, telah menjadi ijma kaum muslimin haram hukumnya. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan “Hari raya yang diberkahi bagimu,” atau “Selamat merayakan hari besar ini,” dan lain lain. Yang demikian itu (meskipun misalkan orang yang mengucapkan terbebas dari kekufuran) maka hal itu termasuk perkara yang diharamkan. Karena perbuatan itu serupa dengan orang yang mengucapkan selamat kepada orang lain karena orang itu telah bersujud kepada salib. Bahkan dosanya lebih besar di hadapan Allah dan murka Allah lebih besar dari pada ucapan selamat terhadap orang-orang yang minum khamr, membunuh , berzina dan lain-lain. Karenanya banyak orang yang tidak kokoh agamanya terjerumus dalam hal itu dan tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seseorang karena perbuatan maksiat, bid’ah dan kekufurannya (kepada Allah) berarti dia telah mengundang murka Allah dan amarah-Nya. (Ahkam Ahludz Dzimmah dalam Fatawa al ‘Ashriyyah juz 22)

Ibnu Taimiyah rahimahullah: Tidak ada perbedaan dalam urusan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam masalah hari raya dengan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam menjalankan ajaran agama. Karena penyerupaan dalam masalah hari raya merupakan penyerupaan dalam masalah kekufuran.” (Iqtidha Shiratal Mustaqim: 208). Wallahu a’lamu bis-shawaab.





*SEBUAH KIAS BAHASA*

Aku Pulang

Tak ada kertas putih yang tersisa untuk luapkan rasa rinduku pada Latar ini. Cukup waktu aku berikan pada yang lain, hingga tak kuasa aku teteskan keringat untuk kembali berkarya dalam Lembaran ini. Bukan maksud tak acuh bukan maksud mengaduh. Hanya keadaan yang tak izinkan aku pulang. Moga ini jadi awal yang Indah tuk aku kembali berjuang dalam mengukir catatan diri ini.

Belajarlah….!

Ilmu melimpah di segala aspek yang ada bersama darah yang mengalir dan nafas yang berhembus.

Syukur

Jarang di antara kita yang bisa menerima suatu masalah dengan tulus Ikhlas. Tapi sebenarnya yang tersimpan di dalam semua itu terdapat Ni’mat dan La’nat. Tergantung kita bisa memilah dan mengambilnya atau tidak. Semua akan menjadi berarti dan bermanfaat bagi kita ketika kita bisa mengambil hikmah-hikmah di baliknya.

Jika Perlu Bergantung

Jiwa ini sepenuhnya hanyalah milik-Nya, yang bebas dan merdeka, yang tak satu pun makhluk berhak menguasainya.Meskipun deri dera terkadang menapa membekas, bukan berarti jiwa ini takhluk dalam gelapnya alam.Ketahuilah…..Indahnya dunia hanyalah bayangan dari Indah-Nya.Gelapnya alam tak lain kesempurnaan-Nya.Jika dunia dan alam terus medentam, jangan biarkan jiwa membuta.Jika terpaksa harus bergantung, gantungkanlah jiwa pada Cinta.Cinta yang abadi,Cinta yang suci,Cinta pada Illahi Rabby.

Berangkat dari titik nol “0″

Blank (hitam) terkadang kita rasakan ketika kita terlalu bingung. banyak masalah yang berpotensi / bermuatan positif dan negatif yang bertemu di dalam diri kita. ketika besar masalah itu sama tapi berbanding terbalik, maka yang terjadi adalah saling meniadakan, atau terkadang justru menimbulkan problem baru.
dari sini kita sebaiknya menahan atau menghentikan kerja pikir kita. krn hal itu bisa berakibat fatal. kita hilangkan semua apa yang ada dalam pikiran kita. kita coba berdiam dalam tengah malam, kita tutup semua pengindraan kita, kemudian kita kosongkan hati kita, dan kita isi dengan muatan-muatan positif (bukan masalah). dari sinilah semua akan tampak dengan jelas perbedaan-perbedaan masalah yang kita hadapi, lalu jangan sekali-kali kita campur aduk lagi problem-problem itu.
kita selesaikan dengan perlahan.
insyaAllah beres



Siapakah diri ini?

 “Tidak ada sesuatupun yang lebih dekat kepadamu selain dirimu sendiri;
jika kau tidak memahami dirimu, bagaimana kau bisa memahami orang lain? Kau mungkin berkata, ‘aku memahami diriku’, tetapi kau salah! Satu-satunya yang kau ketahui tentang dirimu, hanyalah penampilan fizikalmu.Satu-satunya yang kau ketahui tentang ‘nafs’mu (jiwa) adalah ketika kau lapar kau makan, ketika kau marah kau membuat keributan, dan ketika kau termakan bara hawa nafsu kau seluruh tubuhmu lemah (syahwat). Semua binatang memiliki kesamaan dengan dirimu dalam hal ini. Kau harus mencari kebenaran di dalam dirimu yang sejatinya (ainul yaqin):
 

1. Siapa dirimu? 
2. Dari mana datangnya dirimu?
3. Kemana kau akan pergi?
4. Apa perananmu di dunia ini?
5. Kenapa kau diciptakan?
6. Di mana kebahagiaan sejatimu berada?


Jika kau ingin mengetahui tentang dirimu, kau harus mengetahui bahwa kau diciptakan dari dua hal. Pertama adalah tubuhmu dan penampilan luarmu (zahir)
yang dapat kau lihat dengan matamu. Bagian lainnya adalah jiwamu karena Jiwamu adalah bagian yang tidak bisa kau lihat akan tetapi bisa kau ketahui
dengan pengetahuanmu yang dalam. Kebenaran akan eksistensimu ada di dalam jiwamu.

“Hal yang lainnya hanyalah pengabdi bagi jiwamu.”
======================================================================================
 
Catatan: Dari kata yang jauh terpelesat mungkin tak kau temukan arti tersirat, dari sajak sajaknya hanya dialog setan yang tak terjemahkan,kata kata pedat,sesat.pergelaran kata kata tersendat di saat saat istirah. Beragam arti kehidupan, ketahuilah ia tetap dan terus berjalan, hilangkan arti teori,hidup itu praktek ( tak hanya sekedar perjuangan ).Bahkan tak enggan orang beranggapan hidup itu sudah susah,kenapa juga masih kau pikirkan yang susah susah ( arti kehidupan ). Di rambatan renungan kesunyian berpautan setitik pencerahan ” Laa Yukallifullohu Nafsan Illaa Wus aha ”Laa haula quwata ila billa aliyul azhim. dan . Berpaling yang menyebabkan kekufuran adalah acuh dan tidak mau mempelajari masalah pokok agama islam yang dengannya seorang menjadi muslim, walaupun mungkin masih jahiliyah terhadap cabang-cabangnya. Kejahilan yang bisa menjadi udzur adalah bodoh secara alami (terpaksa) yang tidak bisa dihilangkan. Sedangkan orang yang mungkin bisa belajar dan berilmu, tidak diberi udzur dalam masalah-masalah dzahir dari agama ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar