Selasa, 01 Desember 2015

HUKUM MEMBACA BASMALAH MENURUT IMAM MAHZHAB






Dari Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, beliau menjelaskan:
“Ada pun yang terkait dengan menjaharkan Basmalah, maka perinciannya adalah sebagai berikut: bagi yang berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari surat Al Fatihah maka mereka tidak menjaharkan, begitu juga menurut pihak yang mengatakan Basmalah adalah termasuk bagian ayat awal darinya. Ada pun bagi kelompok yang mengatakan bahwa Basmalah adalah termasuk bagian dari surat-surat di bagian awalnya. Maka mereka berbeda pendapat dalam hal ini.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berpendapat bahwa Basmalah DIJAHARKAN (dikeraskan), juga pada surat lainnya. Inilah pendapat banyak golongan dari sahabat tabi’in, para imam kaum muslimin, baik salaf dan khalaf. Dari kalangan sahabat yang menjaharkan adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Muawiyah. Ibnu Abdil Bar dan Al Baihaqi menceritakan bahwa ini juga dilakukan Umar dan Ali. Sedangkan Al Khathib menukil dari khalifah yang empat yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tapi riwayat ini gharib (asing/menyendiri). Dari kalangan tabi’in adalah Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Husein dan anaknya Muhammad, Said bin Al Musayyib, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi, Abu Bakar bin Amru bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Al Munkadir, Ali bin Abdullah bin Abbas dan anaknya Muhammad, Nafi’, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azraq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’ tsa’, Makhul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin.
Imam Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin Al Hanafiyah. Sementara Imam Ibnu Abdil Bar menambahkan: Amru bin Dinar. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 1/117)
Demikianlah, sangat banyak para sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin yang berpendapat dikeraskannya membaca Basmalah ketika shalat. Dalil-dalil mereka adalah:
– Imam An Nasa’i dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya masing-masing, Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya; dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau shalat dan dia mengeraskan membaca Basmalah, lalu setelah shalat selesai, dia berkata: “Sesungguhnya saya menyerupakan untuk kalian shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Hadits ini dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan lainnya)
– Imam Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadraknya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengeraskan membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Katanya: hadits ini shahih)
– Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menjawab: “Adalah bacaan Beliau itu diberikan jarak yang panjang, kemudian dia membaca Bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan Bismillah, memanjangkan Ar Rahman dan memanjangkan Ar Rahim. (juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi No. 2451, Ibnu Majah No. 4215)
– Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Imam Abu Daud dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadaraknya, meriwayatkan: dari Ummu Salamah, dia berkata: “Bahwa Shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca dengan diputus-putus; Bismillahirrahmanirrahim. Al Hamdulillahirabbil ‘alamin. Ar Rahmanirrahim. Malikiyaumiddin.” (Imam Ad Daruquthni mengatakan: isnad hadits ini shahih)
– Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya meriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘Anhu; bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu shalat di Madinah dan dia tidak membaca Basmalah (mengecilkan suara), lalu orang Muhajirin yang hadir mengingkarinya, maka ketika dia shalat untuk kedua kalinya, maka dia membaca bismillah.”
– Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya menyebutkan dari Nu’aim bin Al Majmar katanya: Aku Shalat di belakang Abu Hurairah, dia membaca Bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Ummul Kitab, hingga sampai Wa Ladhdhaallin, dia menjawab: Amin, dan manusia menjawab: Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah No. 499, Berkata Syaikh Al Abani: Al A’zhami berkata: sanadnya shahih seandainya Ibnu Abi Hilal tidak tercampur (hafalannya)). Demikianlah di antara dalil yang ada bagi kalangan yang mengatakan bahwa membaca Basmalah adalah dikeraskan. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah nampaknya memilih pendapat ini dengan menyebutnya sebagai: “hujjah yang mencukupi dan memuaskan.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)
Kelompok yang lain mengatakan bahwa membaca Basmalah TIDAK DIJAHRKAN. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Pendapat kelompok yang lainnya adalah bahwa tidaklah mengeraskan Basmalah dalam shalat. Dan, ini telah pasti (tsabit) dari khalifah yang empat dan Abdullah bin Mughaffal, dan banyak kelompok dari pendahulu tabi’in dan khalaf. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Ahmad bin Hambal.” (Ibid)
Kelompok ini berdalil sebagai berikut:
– Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaan dalam shalatnya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin. (HR. Abu Daud No. 782. Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 782)
– Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Saya telah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah.” (HR. An Nasa’i No. 907, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 907. Juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 495)
– Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan membaca: Al Hamdulillahirrabbil ‘alamin.” (HR. At Tirmidzi No. 246, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 246)
– Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai shalat dengan bertakbir lalu membaca: Alhamdulillahirabbil ‘Alamin.” (HR. Abu Daud No. 783, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 783)
Demikianlah dalil-dalil bagi kelompok yang menyatakan bahwa membaca Basmalah tidak dikeraskan.
Sementara Imam Malik berpendapat bahwa dalam shalat TIDAKLAH MEMBACA SAMA SEKALI bacaan Basmalah, baik keras (jahran) atau pelan (sirran). Beliau beralasan bahwa hadits-hadits di atas bukan menunjukkan sirr (pélan), tetapi memang Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membaca Basmalah. 


Alasan lainnya adalah:
– Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah membaca Bismillahirrahmanirrahim, baik di awal dan di akhirnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan dalam berbagai kitab Sunan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu.
Tetapi, pendapat Imam Malik ini dianggap lemah, sebab dalam hadits-hadits di atas jelas sekali disebutkan kalimat: tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah, artinya Basmalah tetaplah dibaca tetapi tidak keras. Ada pun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi tidak membaca Basmalah, mesti ditakwil dan dikompromi dengan hadits lain, yakni Beliau bukanlah tidak membaca tetapi membacanya, hanya saja suaranya pelan seakan bagi pendengar tidak membacanya. Wallahu A’lam
Nah, dengan demikian ada dua pendapat yang kuat dan sama-sama ditopang oleh dalil-dalil yang shahih, yakni pendapat Pertama, membaca Basmalah secara keras. Pendapat kedua, membacanya secara pelan.
Kedua kelompok ini berdalil dengan hujjah yang sama-sama shahih, dan satu sama lain tidaklah dianggap merevisi (nasakh) yang lainnya, atau dianggap riwayat dhaif. Maka, pandangan yang paling seimbang adalah: Bahwa BENAR Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengeraskan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah, dan BENAR pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memelankan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih pula dari sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Anas bin Malik dan ‘Aisyah. Jadi, keduanya adalah benar. Inilah metode yang ditempuh oleh para ulama muhaqqiq (peneliti) seperti ‘Alim Rabbani Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah. Beliau berkata:

“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih banyak dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272. Cet. 3. 1986M-1406H. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Lebanon).

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

Inilah jalannya para imam –Rahimahumullah- dalam masalah ini dan ini merupakan masalah yang bisa didekatkan, karena mereka sepakat bahwa sahnya shalat bagi yang mengeraskan dan memelankan. Walillahilhamd wa Minnah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118).




Dalam pelaksanaan ibadah, sering kali didapati banyak perbedaan, baik dari segi tata caranya maupun penentuan rukun dan syaratnya. Contohnya saja seperti pelaksanaan shalat shubuh, ada golongan yang mewajibkan qunut, ada pula yang tidak membolehkannya. Atau tentang batas mengusap tangan dalam tayamum juga tentang batasan mengusap kepala ketika berwudhu dan masih banyak lagi perbedaan yang sering kita lihat, sehingga tidak jarang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Umat Muslim sepakat bahwa Ketika shalat haruslah membaca basmalah. Ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan dari ‘Ubādah bin shāmit r.a. yang artinya: Rasulullah bersabda bahwa tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca ʹUmmul Qur’an (Muttafaqun ‘Alaihi). Namun umat muslim berbeda dalam prakteknya ketika shalat. Ketika kita melaksanakan shalat berjamaah misalnya, terkadang kita mendengar ada imam yang membaca dan mengeraskan bacaan basmalah di awal surat al- Fatihah dan surat Qur’an sesudahnya, namun terkadang kita tidak mendengarnya pada imam yang lain. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Apa yang mendasari atau yang menjadi hujjah bagi masing- masing pendapat?
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini yang kemudian dijadikan rujukan dalam pelaksanaan shalat. Pendapat siapa saja yeng mengharuskan pelafalan basmalah dalam shalat, dan pendapat siapa saja yang tidak membolehkannya, disertai dengan dalil-dalil yang dijadikan hujjah bagi masing-masing kelompok.





PEMBAHASAN DALAM IMAM MAZHAB

      A.    Beberapa Pendapat Mengenai Membaca Basmalah Dalam Shalat.
Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan, bahwa dalam pelaksanaan shalat seringkali terjadi perbedaan, baik dalam tata caranya maupun bacaannya. Begitu pula dalam hal pelafalan basmalah, banyak ditemukan para imam ṣalat yang membaca basmalah di awal surat Al-Fatihah maupun surat Qur’an setelahnya, namun ada juga yang tidak membacanya. Hal ini didasarkan pula pada perbedaan pendapat para ulama yang dijadikan rujukan oleh mereka.
Beberapa Pendapat yang terkait dengan masalah ini, yaitu :
a.       Makruh membaca basmalah, ini adalah pendapat Ulama Malikiyah.
b.      Menurut ʹImām Syafi’i basmalah itu wajib dan harus dibaca, baik dalam shalat jahri maupun shalat sirri. Yang tidak membaca basmalah maka shalatnya batal.
c.       Boleh, bahkan mustahabbah (disenangi). Ini pendapat yang masyhur dari Al-Imam Ahmad, Abū Hanīfah, dan kebanyakan ulama ahlul hadits. Pendapat ini juga dipegangi oleh orang yang berpendapat boleh membacanya ataupun tidak karena berkeyakinan bahwa kedua hal tersebut adalah qirā’ah/bacaan Al-Qur’an yang diperkenankan.
      B.     Sebab Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1. Bermacam-macamnya hadist.


Karena banyaknya hadist yang ditafsirkan berbeda terkait dengan permasalahan ini, maka terjadilah perbedaan pendapat di kalangan ulama. Masing-masing pendapat memiliki dalil atau alasan yang mendukung dan menguatkan pendapatnya. Berikut adalah hadist yang dijadikan pegangan bagi para fuqoha yang mewajibkan basmalah dan yang tidak, yaitu:


       A.      Hadist-Hadis yang dijadikan pegangan oleh fuqoha yang tidak mewajibkan basmalah:
Hadist yang diriwayatkan oleh Imām Malīk berasal dari Anas r.a.
Berkata Anas bin Malik ia berkata: “ Aku shalat bersama nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. Namun tidak seorangpun dari mereka yang aku dengar membaca bismillāhirrahmānirrahīm.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Dan dalam riwayatnya yang lain:
ا
“ Di belakang nabi SAW maka dia tidak membaca bismillāhirrahmānirrahīm”.
Dalam hadist yang lain:

Dari Anas r.a : Bahwasanya nabi SAW, Abu Bakar dan Umar memulai shalat dengan “alhamdulillāhi Robbil ‘ālamīn” (Muttafaqun ‘alaihi).

      B.      Hadist-Hadist yang menjadi pegangan bagi para fuqoha yang mewajibkan basmalah:
Hadist Nu’aim bin Abdillah al-Mujammir:

“ Aku shalat di belakang Abu Hurairah r.a. kemudian ia membaca bismillāhirrahmānirrahīm, sebelum induk Qur’an ( surat Fatihah) dan sebelum surah Quran (yang lain). Ia juga mengucapkan takbir ketika turun dan ketika tegak. Dan ia berkata: Aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah di antara kamu.( H.R.An-Nasa’i).

Hadist ini dinyatakan tsiqoh, karena Nu’aim Al-Mujmir itu adalah Abu Abdullah pelayan Umar bin Khattab. Dia pernah mendengar hadist dari Abu Hurairah dan yang lainnya. Disebutkan dalam kitab Subulus Salam jilid I bahwa ketika itu dia diperintahkan untuk membersihkan dan mewangikan setiap Jum’at sewaktu mulai tengah hari, dan kemudian dia mendengar hadist ini dari Abu Hurairah.
Hadist Ummu Salamah:

Ummu Salamah Berkata: “ Rasulullah membaca bismillāhirrahmānirrahīm, alhamdulillāhi robbil’ālamīn”.
Menurut ahli hadist, hadist-hadist di atas adalah shahih dan tidak dapat diketahui mana di antara hadist-hadist tersebut yang datang terlebih dahulu, sehingga tidak dapat ditetapkan mana yang nasikh (dihapus) dan mana yang mansukh (menghapus). Sehingga kemudian inilah yang menjadi dasar perbedaan pendapat di kalangan ulama.

         2.      Kedudukan basmalah dalam Al-Qur’an
Para ulama sepakat bahwa basmalah yang terdapat dalam surat An-Naml ayat 30 adalah ayat Al-Qur’an. Namun mereka berbeda pendapat mengenai Kedudukan basmalah dalam Al-Qur’an selain dalam surat An-Naml tersebut. Hal ini juga yang menjadi sebab yang paling mendasar, apakah basmalah itu hanya bagian dari surat al-Fatihah, ataukah termasuk ayat dari setiap surat.
Dalam hal ini ada tiga pendapat:
A.       Menurut madzhab Syafi’i, basmalah adalah ayat dari surat Al-Fatihah. Alasan mereka berpendapat seperti ini dikarenakan adanya hadist yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Apabila kalian membaca alhamdulillah ( Al-Fatihah), maka bacalah bismillāhirrahmānirrahīm,, karena sesungguhnya alhamdulillah ( Al-Fatihah) itu ummul qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani dan bismillāhirrahmānirrahīm, itu adalah salah satu dari ayat-ayatnya” ( H.R. Daruquthni juz 1 hal.312).
Hadist tersebut tidak menunjukkan bacaan basmalah dengan keras atau pelan, tetapi hanya menunjukkan perintah secara umum untuk membaca basmalah itu, dan ini adalah dalil yang membuktikan kewajiban membaca basmalah dan menunjukkan bahwa basmalah itu adalah salah satu dari ayat al-Fatihah. Selain itu juga ada hadist yang diriwayatkan bukhari yang berbunyi

Sesungguhnya Rasulullah SAW menghitung surah Al Fatihah tujuh ayat, dan menghitung bismillahir rahmaanirrahiim adalah ayat dari surah Al Fatihah”
Terbukti dalam mushaf Qur’an yang beredar sejak dahulu sampai sekarang adalah tertulis di dalamnya bismillāhirrahmānirrahīm di awal surah Al Fatihah dan awal setiap surah kecuali At-Taubah, dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang membantahnya. Hal ini termasuk pendapat dari Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ibnu Umar. Kemudian dari  kalangan tabi’in seperti Said bin Jubair, Az - Zuhri, Ibnu Mubarak, serta Fuqaha’ seperti Imam Syafii, Imam Ahmad, Abi Ishaq dan ahli Qurraʹ Makkah dan Kuffah seperti Imam Ibnu Katsir, Imam ‘Ashim.
     B.      Imam Malik dan sekelompok ulama Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah dan surat-surat lain dalam al-Qur’an. kecuali ayat ke 30 surat An-Naml. Yang dijadikan dasar dari pendapat ini adalah hadist sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman “ Aku membagi Ash- Shalah  ( Al-Fatihah) antara-Ku dan antara hambaku menjadi dua bagian, dan untuk hambaku akan mendapatkan apa-apa yang ia minta. Maka apabila hamba mengucapkan Alhamdulillāhirobbil ālamīn, Allah Ta’ala menjawab: hambaku telah memujiku. Apabila ia mengucap Ar-Rahmānirrahīm Allah Ta’ala menjawab Hambaku telah menyanjungku. Apabila ia mengucap māliki yaumiddīn, Allah menjawab, hambaku telah mengagungkan Aku dan juga berfirman hambaku berserah diri kepadaku. Apabila ia mengucap iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn Allah menjawab Ini adalah antara aku dan antara hambaku dan untuk hambaku akan mendapatkan apa-apa yeng ia minta. Dan apabila ia mengucapkan Ihdinash-shirāthal mustaqīm shirāthalladzīna an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhūbi ‘alaihim waladhdhāllīn, Allah menjawab: ini adalah untuk hambaku dan untuk hambaku akan mendapatkan apa-apa yang ia minta
( H.R. Muslim)



Dari hadist ini dilihat bahwa Allah mengawalinya dengan mengucap Al-hamdu lillāhi robbil ‘ālamīn, bukan dari bismillāhirrahmānirrahīm. Dan hadist ini dianggap sebagai dalil yang paling kuat yang dijadikan hujjah bagi mereka. 


     C.       Menurut madzhab Hanafi, Basmalah termasuk ayat dari setiap surat, dan ayat dari setiap surat al-Qur’an kecuali surat at-Taubah yang tanpa basmalah.  tapi merupakan ayat yang berdiri sendiri dalam al-Qur’an yang berfungsi sebagai pemisah antara surat-surat dan bukan bagian dari al-Fatihah. Imam Ahmad berkata:

 “ Basmalah adalah ayat al-Qur’an yang terletak di awal surah al-Fatihah, namun bukan merupakan ayat Al-Qur’an jika terletak di awal-awal surah selain al-Fatihah”.




Yang dijadikan dasar bagi pendapat mereka ini adalah hadist riwayat muslim sebagai berikut:

Dari Anas ia berkata: pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah-tengah kami, tiba-tiba beliau tertidur sejenak lalu beliau mengangkat kepalanya sembari tersenyum. Maka kami bertanya, Apa yang membuat engkau tersenyum yaa Rasulullah? Beliau bersabda : baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat, lalu beliau membaca (yang artinya) Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membenci kamu dialah yang terputus    ( H.R.Muslim)


     C.    Perdebatan Pendapat Para Ulama

      1.      Bantahan Terhadap Pendapat yang tidak membolehkan basmalah
Bantahan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh ulama malikiyah ini antara lain adalah dengan adanya Kesepakatan Para Imam ahli qira’at atas penetapan basmalah di awal surat al-Fatihah dan mereka tidak bertentangan, malah sangat relevan dengan penulisan basmalah dalam mushaf Ustmani. Salah satu imam ahli Qira’at, Abu Al-Khair bin Al-Jaziry di dalam kitabnya  An- Nasyr fi Qira’at Al’asyr berkata: Sungguh, orang-orang yang memisah dua surat dengan basmalah, orang-orang yang menyambung dua surat dengan basmalah atau orang-orang yang membaca saktah (berhenti tanpa nafas) antara akhir surat dengan surat berikutnya. Bila mereka memulai satu surat dari surat-surat di dalam Al-Qur’an, mereka harus membaca basmalah terlebih dahulu.
Hadist dari Anas bin Malik yang dijadikan pegangan atau dasar dari pendapat ini juga dapat diartikan bahwa sebenarnya Anas tidak mendengar bacaan basmalah dari Abu Bakar, Umar dan Ustman, tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak membaca basmalah sama sekali. Sebab bisa jadi mereka membacanya secara sirri karena dalam riwayat lainnya, yang diriwayatkan oleh Imâm Ahmad bin Hanbal,  an-Nasā-ī, dan Ibnu Khuzaymah, juga dari Anas bin Mālik, menyatakan:
  لَا يَجْهَرَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
 Mereka tidak mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahiim…”
Atas dasar ini bertolak sendirinya riwayat muslim yang mengatakan bahwa mereka tidak membaca basmalah itu. Di samping itu ada yang mengatakan bahwa hadist ini cacat, karena Al-Auza’iy meriwayatkan tambahan itu dari Qatadah secara tertulis, bukan langsung mendengarnya sendiri. Ibnu Al-Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla berkata: Hadist ini tidak sah dijadikan dalil, karena di dalam hadist ini tidak tercantum larangan dari Rasulullah untuk membaca basmalah . Hadist tersebut hanya menjelaskan bahwa rasululah tidak membacanya.
Selain itu, Ibnu Abdul Barri di dalam kitabnya Al-istidkar mengatakan bahwa hadist yang diriwayatkan Anas itu adalah hadist mudhtorrib dan tidak dapat dijadikan hujjah bagi seorangpun di antara fuqoha. Karena setelah Anas ditanya tentang hadist itu kemudian dia menjawab: “ Saya sudah lanjut usiaku dan saya sudah lupa”. Berdasarkan itu maka jelas hadist itu tidak dapat dijadikan hujjah.


2.      Bantahan terhadap pendapat yang mengharuskan basmalah
Ulama Syafi’iyah secara tegas mengharuskan pelafalan basmalah dalam shalat karena menurut mereka basmalah termasuk ayat dalam surat al-Fatihah.  Salah satu dalil yang dijadikan hujjah mereka adalah hadist yang diriwayatkan oleh an-Nasā’ī dari Nu’aim Al-Mujmir yang sudah disebutkan di atas. Al-Bukhari mengatakan bahwa hadist tersebut adalah hadist mu’allaq ( hadist yang tidak disebutkan sanadnya) yang diriwayatkan juga oleh As Siraj, Ibnu Hibban dan yang lainnya.
An-Nasā’ī menetapkan bab dalam kitabnya dengan lafal “ Bab Mengeraskan Bacaan Bismillāhirrrahmānirrahīm” dan hadist tersebut termasuk yang paling shahih tentang masalah itu. Sehingga menguatkan hukum asal yaitu hukum kalimat bismillah itu sama dengan hukum bacaan al-fatihah dalam hal membaca keras atau pelan. Apalagi hadist ini adalah ucapan dari Abu Hurairah yang mengatakan: “ sungguh sayalah di antara kamu yang paling sama shalatnya dengan shalat Rasulullah”.
Namun pendapat ini dibantah ulama Malikiyah dengan hujjahnya yaitu dalil hadist qudsi yang sudah disebutkan di atas. Dalam hadist tersebut tertulis :

قسمت الصّلاة. Jumhur ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan Ash-Shalah di sini adalah Al-Fatihah. Menurut mereka, yang dapat ditafsirkan dari hadist tersebut adalah Allah menjadikan tiga ayat pertama untuk dzatNya,dan ayat keempat mengandung unsur kerendahan diri dari seorang hamba dan permohonan pertolongan kepada Allah, dan tiga ayat selanjutnya menggenapkan surat al-Fatihah menjadi tujuh ayat. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa ayat yang menggenapkan tujuh ayat itu berjumlah tiga ayat adalah bahwa di situ Allah tidak berfirman: ” kedua ayat ini”. Firman Allah ini menunjukkan bahwa lafadz انعمت عليهم adalah satu ayat. Merekapun sepakat bahwa tidak sempurna shalat kecuali dengan al-fatihah. Maka ketika Allah tidak menyebutkan lafadz bismillāhirr rahmānirrahīm, maka ini sudah berarti bahwa memang basmalah bukan termasuk ayat dalam surat al-Fatihah.
 Dalam hadist riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menghitung Bismillāhirrahmānirrahīm sebagai salah satu ayat dari al-Fatihah, menurut sebagian ahli hadist, riwayat ini tidak dijelaskan sanadnya sehingga diragukan keabsahannya sebagai hadist yang disandarkan dari Imam Bukhari. Karena dalam kitab Al-Mughni terdapat hadist mauquf yang bunyinya hampir mirip, yaitu:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا قَرَأْ تُمْ الْفَا تِحَةِ فَاقْرَأُ وْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ فَاِ نَّهَا احْدَى اَيَا تِهَا
Dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah SAW, bersabda, ‘apabila kamu membaca Al-Fatihah, maka bacalah Bismillāhirrahmānirrahīm, karena basmalah itu, salah satu dari ayatnya.’” (H.R. Ad Daraquthni)
Hadis tersebut diriwayatkan dari jalan Abu Bakar Hanafi dari Abdul Hamid bin Jafar dan Nuh bin Abi Hilal. Abu Bakar Hanafi mengatakan, “aku telah mengkonfirmasi hadis ini kepada Nuh bin Abi Hilal lalu dia menyatakannya sebagai hadis mauquf. Kemudian, satu hal yang membuat pendapat Malikiyah ini semakin kuat adalah bahwa sampai sekarang, masjid nabawi yang ada di Madinah, tidak ada seorang pun yang membaca basmalah, karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah. Seperti ucapan ulama Malikiyah yang mengatakan : “Madzhab kami lebih unggul dalam bidang periwayatan tersebut dan ini sangat logis. Pasalnya Masjid Nabawi yang berada di Madinah, dari masa ke masa, sejak Rasulullah sampai masa Imam Malik, tidak ada seorang pun yang membaca bismillah. Hal ini terjadi karena mereka mengikuti sunnahh Rasulullah.



      D.    Aplikasi Dalam Shalat.
    1.      Basmalah harus dibaca dalam shalat
Bagi pihak yang berpendapat bahwa basmalah sebagai salah satu ayat dalam Al Fatihah konsekwensinya tentu adalah dengan membacanya ketika shalat. Pendapat ini adalah pendapat kalangan Syafiiyah dan Hanabilah. Basmalah harus (fardhu) dibaca dalam shalat secara jahr pada shalat yang dibaca jahr. Dan dibaca secara sirri pada shalat-shalat sirr. Sehingga batal bagi shalatnya bagi orang yang tidak membacanya.
Berkenaan dengan dibaca jahr atau sirr, Syaikh Al-Albani memilih membacanya secara sirr, karena hadis-hadis yang menyebutkan pelafalan secara sirr, basmalah lebih kuat daripada hadist - hadist yang menyebutkan pengucapan basmalah sambil mengeraskan suara. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibrahim An- Nakhmi:
قَالَ إِبْنُ مَسْعُودِ : أَرْبَعٌ يخفيهن التعودُ, والتسميةُ, والتأمينُ, والتحمدُ الامام
Artinya: “Ibnu Mas’ud berkata: empat yang dibaca ringan (sirr) oleh imam adalah At-ta’awudz, basmalah, amin, dan tahmid
2.      Basmalah tidak wajib dibaca dalam Shalat
Bagi pihak yang berpendapat bahwa basmalah bukan termasuk ayat dari surat al-Fatihah, konsekwensinya adalah tidak membaca basmalah sama sekali dalam shalat. Bahkan Imam Malik menyatakan bahwa ini makruh dilakukan baik pada shalat jahr maupun shalat sirr. Pendapat ini didasarkan dari dalil-dalil yang sudah dikemukakan di atas. Dan hingga saat ini mayoritas imam-imam di masjid Nabawi memakai pendapat Imam Malik ini.
3.      Boleh membacanya, boleh juga tidak
Ini adalah pendapat moderat yang mengambil jalan pertengahan. Pendapat ini masyhur dari kalangan ulama Hanafiyah. Menurut mereka boleh meninggalkan basmalah, karena menurut meraka basmalah tidak termasuk bagian dari surat. Jikapun ingin membacanya, maka tidak mengapa karena menurut ahli qira’at, itu juga merupakan bacaan yang diperkenankan.


PENUTUP

Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menyebabkan perbedaan di kalangan ulama terkait dengan pelafalan basmalah ketika shalat di antaranya adalah:
-          Bermacam-macamnya hadist yang penafsirannya bertentangan satu sama lain.
-          Perbedaan dalam menentukan kedudukan basmalah dalam Al-Fatihah maupun Al-qur’an.
-          Ketidak tahuan akan adanya hadist, ini terlihat pada pendapat ulama malikiyah yang bersandar pada hadist Anas yang ternyata mempunyai makna berbeda dengan yang diriwayatkan Imam Malik.
-          Perbedaan dalam menafsirkan hadist-hadist yang tekait dengan masalah ini.
Dari sini dapat dilihat bahwa masing-masing kelompok mempunyai dalil yang dijadikan hujjah bagi mereka. Terlepas dari kebenaran hujjah kelompok-kelompok di atas, hendaknya ini tidak menjadikan alasan terpecah-belahnya umat Islam. Karena perlu dipahami bahwa ini adalah permasalahan Furu’iyah yang sangat wajar, jika terdapat perbedaan di dalamnya. Asalkan tidak merusak yang asal atau yang inti, maka tidaklah jadi persoalan. Masing-masing bisa mengamalkan sesuai dengan keyakinan dan hujjah masing-masing dan tidak menjadikan perbedaan ini sebagai alat untuk merusak ukhuwah islamiyah di antara sesama muslim.
Dan demikian pembahasan ini. Dari sini semoga kita bisa lebih arif dalam menyikapi bacaan Basmalah ini. Membacanya, baik dikeraskan atau tidak, bukanlah bab permasalahan salah atau benar, sunah atau bid’ah. Tetapi, keduanya benar, hanya saja nabi lebih sering tidak mengeraskannya Maka, tidak dibenarkan satu sama lain saling menyerang dan menyalahkan, apalagi sampai taraf menuduh sebagai pelaku bid’ah. Padahal duanya merupakan perilaku nabi, sahabat tabi’in, dan imam kaum muslimin. Maka, jika kita berada di masjid yang biasa mengeraskan bacaan Basmalah, maka alangkah baik jika kita mengikutinya -jika diminta menjadi imam- untuk menjaga persatuan hati dan menghilangkan kebencian. Begitu pula ditempat sebaliknya. Inilah perilaku ulama rabbani yang mendalam ilmunya yang sudah sepatutnya kita meneladaninya. Semoga bermanfaat.   =>Wallahu A’lam<=


Tidak ada komentar:

Posting Komentar