Selasa, 01 Desember 2015

SEJARAH THAREKAT DIBUMI PERTIWI NKRI





















A. PERKEMBANGAN THAREKAT DI NUSANTARA.



    Pada awalnya, Negara yang mempengaruhi berkembangnya Tharekat di Indonesia adalah India (Gujarat), dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya, beberapa Tharekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tharekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia. Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang Tharekat adalah Hamzah Fansuri. Dari namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak Wahdatul-Wujud yang cendrung kepada penafsiran panteistik. Dalam Syairnya Hamzah Fansuri juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia mengunjungi makam Syekh Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tharekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam Tharekat ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang diketahui secara pasti menganut Tharekat Qadiriyah.


    Tharekat Qadiriyah adalah Tharekat pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa, pengaruh Tharekat ini banyak ditemui di daerah Cirebon dan Banten. Dan menurut cerita rakyat setempat, Syaikh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Tharekat Qadiriyah di Banten adalah, adanya pembacaan kitab manaqib syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu di kehidupan beragama masyarakat disana.





B. SEJARAH THAREKAT DAN PENDIRINYA.


1. Pendiri Tharekat Syadziliyyah adalah syekh Ali bin Abdullah bin Abdul-Jabbar Abul Hasan as-Syadzili (w. 1258). Silsilah keturunannya bergaris sampai kepada saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau
sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani. Shufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid Hamzah Fansuri yang banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus pertama ajaran Martabat Tujuh di nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber-dzikir ( yang dianggap sebagai pengaruh yoga pranayama dari India ). Ajaran Martabat Tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibnu-‘Arabi yang sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari seorang ulama besar asal Gujarat bernama Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri pengarang kitab at-Tuhfatul-Mursalah ilaa Ruuhin-Nabi. Tapi Nuruddin ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa ajaran Martabat Tujuh Syamsuddin termasuk ajaran Wahdatul Wujud yang dianggap menyimpang.


    Syamsudin sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti halnya Burhanpuri, bahkan Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin wafat tahun 1039 H (1630 M). Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658. Ibunya orang Melayu, ayahnya imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat Syaikhul-Islam atau Mufti di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shofiatud-Din. Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637 – 1644) sebagai Mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin Wahdatul Wujud. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan  Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya, yaitu murid-murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham Panteisme. Sebagai seorang shufi, ar-Raniry juga memiliki banyak keahlian, ia menguasai ilmu teologi, fiqh, hadits, sejarah, perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-Tharekat, ia mengamalkan Tharekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran Tharekat ini ke wilayah Melayu, selain itu ia juga menganut Tharekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis kitab tentang ilmu Qalam dan Tasawuf, menganut aliran At-Tauhid Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat. Ar-Raniry tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua Tharekat yang berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang Tharekat dari India berkembang dulu di Makkah-Madinah, kemudian di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah Tharekat Syattariyah yang dibawa oleh murid utamanya, Syekh Abdul Rauf Singkel.

    Syekh Abdul Rauf belajar di Makkah selama 19 tahun dengan guru-guru Tharekat, diantaranya adalah Syekh Al-Qusyasyi, Ibrahim Al-Kurani, serta puteranya Syekh Muhammad Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi Ahli Fiqh terkenal di Aceh dan seorang shufi yang menyeimbangkan pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan Dzikir dan Wirid dari Tharekat Syattariyah. Muridnya menyebarkan Tharekat ini ke Sumatera Barat melalui Syekh Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui Syekh Abdul Muhyidin dari Pemijahan Tasikmalaya yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan oleh Masyarakat di sana. Al-Qusyasyi (w. 1660) dan Al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara Tradisi intelektual shufi India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris Syekh Zakariya Al-Anshori dan ‘Abdul-Wahab As-Sya’rani dalam bidang Fiqh dan Tasawuf, sekaligus menjadi pengikut sejumlah Tharekat di India, yang paling berpengaruh adalah Tharekat Syattariyah dan Tharekat Naqsyabandiyah. Kedua Tharekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India bernama Sibghatullah pada tahun 1605. Di antara kedua Tharekat yang diajarkan, ternyata Tharekat Syattariyah banyak diminati oleh murid-murid dari Indonesia, padahal di Timur Tengah sendiri, kedua Syaikh ini lebih dikenal orang sebagai penganut Tharekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal dari Indonesia. Dan selama beberapa generasi, murid-murid dari Indonesia belajar kepada pengganti al-Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tharekat Syattariyah, karena Tharekat ini relatif lebih mudah jika dipadu dengan berbagai Tradisi Nusantara, sehingga menjadi Tharekat yang paling “mem-bumi”, terlebih lagi ajaran Martabat Tujuh yang menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.


     Ulama lain yang sezaman dengan Syekh Abdul Rauf Singkil adalah Syekh Yusuf Al-Makasari (1626 – 1699) penulis kitab ar-Risalah an-Naqsyabandiyah. Kitab ini memberi kesan bahwa Syekh Yusuf benar-benar mengajarkan Tharekat ini di Makasar. Kitab ini berisi antara lain tentang tekhnik meditasi dalam berdzikir. Syekh Yusuf mempelajari Tharekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Muhammad Abdul Baqi, kemudian berguru lagi kepada Syekh Ibrahim Al-Kurani seorang tokoh dari Thareqat Naqsyabandi di Madinah. ( walaupun al-Kurani di Indonesia lebih dikenal sebagai Syaikh Tharekat Syattariyah yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai Khalifah untuk menyebarkan Tharekat Syattariyah di Indonesia ). Selanjutnya di Damaskus, ia berguru lagi dan berbaiat menjadi Khalifah Tharekat Khalwatiyah dan mendapat izin ijazah untuk mengajarkan Tharekat ini. Barangkali beliau-lah orang pertama yang memperkenalkan Tharekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi Tharekat ini disebarkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Abdul Basir ad-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama Tuang Rappang I Wodi.
Dalam pengembaraan ilmiahnya, Syaikh Yusuf al-Makassari banyak memperoleh ijazah dari sejumlah Tharekat, di antaranya adalah Tharekat Naqsyabandiyah, Tharekat Qadiriyah, Tharekat Syattariyah, Tharekat Ba’alawiyah, Tharekat Khalwatiyah, juga pernah menjadi pengikut Tharekat Dasuqiyah, Tharekat Syadziliyah, Tharekat Chistiyah, Tharekat ‘Aydrusiyah, Tharekat Ahmadiyah, Tharekat Kubrawiyah dan beberapa Tharekat-Tharekat lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran Spiritualitas Islamiyah, yang ternyata merupakan gabungan antara teknik Spiritual Khalwatiyah dengan berbagai tekhnik dari Tharekat-Tharekat lainnya. Dan Tharekat ini sekarang mengakar dan banyak diamalkan orang di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makasar.
   Abad berikutnya, orang orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik dengan ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman (w. 1775) ulama Madinah, Tharekat Sammaniyah merupakan gabungan dari Tharekat Khalwatiyah, Tharekat  Qadiriyah, Tharekat Naqsyabandiyah dan Tharekat Syadziliyah. Syekh Muhammad Samman mengembangkan cara berdzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah Ratib (doa-doa) sendiri. Secara formal Tharekat ini merupakan salah satu cabang dari Tharekat Khalwatiyah, karena Silsilah (sanad) Syekh Samman hanya melalui gurunya yaitu Syekh Musthafa al-Bakri, pengamal Tharekat Khalwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah Tharekat tersendiri dengan Dzawiyah sendiri dan dengan pengikut lokal ketika Syaikh-nya masih hidup. Murid Syekh Samman yang paling terkenal adalah syekh Abdus Shomad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab penting berbahasa Melayu. Beberapa ulama di Palembang berafiliasi dengan Tharekat ini, sehingga Tharekat ini mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan Sultan Palembang telah menyediakan sejumlah dana yang cukup besar untuk membangun Dzawiyah Syekh Samman di Jeddah. Sesudah Syaikh Samman  wafat, orang-orang Indonesia (pribumi) yang bermukim di Arab, belajar Tharekat ini dari Khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia yang menyebarkan Tharekat ini adalah Syekh Nafis al-Banjari dengan karyanya ad-Durrun-Nafis dalam bahasa Melayu, ia menyebarluaskan Tharekat ini di Kalimantan. Syekh Nafis al-Banjari juga mengamalkan berbagai Tharekat, seperti Tharekat Qadiriyah, Tharekat Syattariyah, Tharekat  Naqsyabandiyah, Tharekat Khalwatiyah dan Tharekat Sammaniyah.
2. Tharekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150 – 1230 H/ 1737 – 1815 M) yang lahir di ‘Ainu Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang cukup pesat dari Tharekat ini ternyata mampu menyaingi otoritas Utsmaniyyah, sehingga Syekh Ahmad dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syekh Ahmad at-Tijani pindah ke Fez pada tahun 1798, dan hidup disana hingga beliau wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah-Salafiyyah yang memusuhi kaum shufi dan membenci pengamal Tharekat Tasawuf yang cendrung menjauhi dunia (zuhud) dan sukar melestarikan Tradisi penghormatan terhadap makam Syaik-Syaikh mereka (tawassul), Tharekat Tijaniyyah justru berkembang pesat. Bahkan perkembangan Tharekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dari raja Maroko, Maula Sulaiman yang berkepentingan mendekati Syekh Ahmad untuk menghadapi pesaingnya dari Dzawiyah para Syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaannya. Tharekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia pada tahun 20-an, dan banyak mendapatkan pengikut terutama di pulau Jawa dan Madura. Pengikut Tharekat Tijaniyah berkeyakinan, bahwa Tharekat Tijaniyah adalah Tharekat yang terbaik, karena memiliki keunggulan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh Tharekat-Tharekat lainnya. Tentang keistimewaan dan keunggulan Tharekat ini, nanti akan kami jelaskan secara terperinci di dalam artikel ini. Di Sulawesi Selatan, Tharekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya bergabung menjadi Tharekat Khalwatiyah wa Sammaniyah. Tharekat ini berkembang sedikit berbeda dengan ritual Tharekat Sammaniyah lainnya di Nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok Etnis Bugis saja.
3. Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, merupakan cabang Tharekat gabungan serupa dengan Tharekat Sammaniyah, yakni teknik spiritual Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-unsur Tharekat lainnya. Tharekat ini merupakan satu-satunya Tharekat yang didirikan oleh Ulama asli Indonesia, yaitu Syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati. Ia ahli dalam bidang Fiqh, konsep ke-Tuhanan dan amalan-amalan shufi. Ia mempunyai banyak pengikut dan menjadi guru Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai Tharekat paling populer di Indonesia. Ketika ia wafat tahun 1873, Khalifahnya Syekh Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai Syaikh Tharekat ini. Dua orang Khalifah utama lainnya adalah Kiyai Tolhah dari Cirebon dan Kiyai Ahmad Hasbullah dari Madura. Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu dari dua Tharekat yang memiliki jumlah pengikut terbesar di seluruh Indonesia. Tharekat lainnya adalah Tharekat Naqsyabandiyah Kholidiyah, yang tersebar berkat Dzawiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais Makkah. Para penggantinya, yaitu Sulaiman al-Qarimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridho menyebarkan Tharekatnya kepada orang-orang Pribumi Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang lebih besar lagi selama abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani latihan berkhalwat di Dzawiyah tersebut. Di tempat itu pula puluhan orang Indonesia menerima Ijazah untuk mengajarkan Tharekat ini di kampung halamannya mereka masing-masing.
4. Tharekat Chisytiyah adalah sebuah Tharekat kelahiran India, yang didirikan oleh Syaikh Mu’inad-Din Chisyti (w. 1236). Awalnya, Tharekat ini berideologi Sunni, (walaupun akhir-akhir ini banyak diamalkan oleh kaum Syiah). Hal ini terbukti bahwa para pengikut Tharekat Chisytiyah di India menjadikan kitab ‘Awariful-Ma’arif  karya Syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi sebagai kitab pegangan mereka. Kitab itu menjadi dasar bagi para guru Tharekat Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain itu, kitab Khasyful-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan oleh kaum Chisti. Bahkan Syaikh Nizomuddin Auliya pernah berkata : “Seorang Salik yang tidak memiliki referensi spiritualitas Islamiyah, maka kitab Khasyful-Mahjub sudah cukup baginya untuk dijadikan pegangan”.
5. Tharekat Mawlawiyah adalah kelahiran Turki dan dikenal luas oleh penduduk sana, baik di Negeri Timur maupun di Negeri Barat, terutama melalui ‘Whirling Darvish’ nya. Dengan "Matsnawi"-nya, Maulana Jalaluddin Rumi (w. 1273) menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi spiritualitas Islamiyah. Orientalis yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Tharekat Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang bukan hanya meng-edit secara kritis semua naskah Matsnawi, tetapi juga menerjemahkan seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 jilid) ke dalam bahasa Inggris. Dia juga telah menerjemahkan kitab Divani Syam-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti (I am Wind You Are Fire, The Life and Work of Rumi, dan The Triumphal Sun, A Study of The Works of Jalaludin Rumi).
6. Tharekat Ni’matullohi, Tharekat ini kelahiran Iran yang telah populer, baik di tanah kelahirannya maupun di dunia Barat. Tokoh Tharekat ini adalah Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Saat ini, Tharekat Ni’matullah mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di Persia (Iran). Dalam ajarannya, Tharekat ini lebih menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia, penghormatan tanpa prasangka buruk, juga pengabdian dan cinta kasih kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, kebudaya, dan kebangsaan. Dalam Tharekat ini, praktik Tasawuf  bertujuan menciptakan kepribadian lahiriah yang sangat etis, dan membimbing hati untuk menghimpun berbagai kwalitas dan keutamaan. Ajaran Tasawuf  harus bertujuan membidik realitas Muslimin agar dapat dibangkitkan perasaan cinta kasihnya, sehingga mampu menyatukan para pemeluk dari berbagai Agama dan Keyakinan serta Suku. Dengan energi Tasawuf inilah, segala perbedaan dan perselisihan sektarian harus dihilangkan, karena seorang shufi harus mengarahkan perhatiannya hanya kepada wilayah ke-Esaan Ilahi (tauhid), sehingga setiap orang merasa sama dalam persaudaraan kemanusiaan.
7. Tharekat Sanusiyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi (1787 – 1859), pengarang kitab as-Salsabil ul-Ma’in fit-Tharo’iqil-Arba’in dan al-Masa’ilul-‘Anshar. Melalui kitab ini sejumlah Tharekat Mu’tabaroh disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk bahan rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith-Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Sykeh as-Sanusi telah mendirikan sebuah Dzawiyah di Abu Qubais Makkah, tetapi beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di sebuah bukit yang bernama Jabal Akhdar di daerah Curenaica.
=====================================================================


KESIMPULAN
Tharekat adalah perjalanan seorang Salik (pengikut Tarekat) menuju jalan TuhanNya dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara Ruhani dan Lahiriyah oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT. 

Demikianlah sekilas tentang perkembangan sebagian ajaran Tharekat Shufi Tasawuf yang masuk ke Negara Indonesia Nusantara, di samping itu, Tharekat-Tharekat lain yang tidak kami sebutkan, disebabkan kurang berkembang dan tentunya kurang banyak diminati oleh orang-orang Pribumi Nusantara (NKRI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar