PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Awal sejarah Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia
tampak sangat problematik dan rumit. Banyak masalah yang muncul meliputi
asal-usul dan perkembangan awal Islam di kawasan ini. Masalah-masalah
itu muncul tidak hanya karena perbedaan-perbedaan tentang apa yang
dimaksud dengan “Islam” itu sendiri oleh sarjana yang berbeda, tetapi
yang lebih penting disebabkan karena sedikitnya data yang memungkinkan
kita merekonstruksi suatu sejarah yang bisa dipercaya (reliable).
Terdapat banyak ketidaksepakatan diantara para sarjana dan para peneliti
mengenai makna dari “Islam” yang sesungguhnya, maka sebagai
konsekuensinya juga tidak ada kesepakatan tentang penetrasinya ke
Nusantara. Berbagai sarjana dan peneliti tertentu mendefinisikan “Islam”
dengan menggunakan kriteria formal yang sederhana seperti penyebutan
Syahadat atau pemakaian nama Islam, sedangkan yang lain mendefinisikan
Islam dengan cara yang lebih Sosiologis; suatu masyrakat akan dianggap
Islam jika Islam telah aktual, memberikan prinsip-prinsip yang berfungsi
secara aktual bagi segenap lembag sosial, budaya dan politik. Dalam
pandangan ini semata-mata membaca syahadat tidak dapat dijadikan
indiukasi yang sebenarnya mengenai penetrasi Islam dalam suatu
masyarakat.
Masalah itu menjadi semakin rumit karena kerangka acuan tertentu
digunakan secara sadar maupun tidak sadar, terutama oleh para sarjana
dan peneliti Barat terhadap kajian di kepulauan Melayu-Indonesia. Ada
keinginan besar dikalangan pengkaji dari Barat semenjak masa
kolonialisme sampai saat ini untuk mengurangi secara konseptual tempat
dan peran Islam – bersama-sama dengan manifestasi budayanya – dikalangan
masyarkat muslim di Nusantara ini. Akibatya, mereka cenderung memandang
Islam hanya sebagai suatu fenomena yang pariferal atau yang tidak
mengakar secara sempurna di kawasan ini.
Satu contoh kecenderungan ini direpresentasikan oleh Snouck Hurgonje,
Khususnya sebagaimana yang tercermin di dalam bukunya ´The Achehnse”,
yang merupakan kajian tentang agama dan sistem sosial orang Aceh. Dalam
kajian ini, dia mereduksi Islam dengan membuat perbedaan yang sangat
ketat antara islam dan adat meskipun pada kenyataanya banyak bagian dari
adat yang tak selalu tidak sesuai dengan Islam. Contoh paling mutakhir
tentang penyusutan konseptual ini digambarkan secara sempurna oleh
Geertz yang menggagas istilah “Agama Jawa” sebagai pengganti Islam untuk
menganalisis fenomena Islam di kalangan masyarakat Jawa. Istilah itu
sendiri menggambarkan penolakannya untuk mengakui Islam – apapun bentuk
penerjemahan dan aktualisasinya dikalangan masyarakat Jawa. Dia membuat
pembelahan-pembelahan sosiologis yang sangat popular, seperti santri, abangan, dan priayi yang secara konseptual tidak selalu shahih untuk menjelaskan kehidupan agama dan budaya masyarakat Jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Kapankah masuknya Islam ke Indonesia ?
2. Bagaimana Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia?
3. Bagaimanakah Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berdiri ?
4. Bagaimanakah gerakan-gerakan radikal Islam dapat bermunculan ?
C. Tujuan dan Manfaat
Dalam hal ini pemakalah berharap bahwa materi
mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia ini, selain dapat
memberikan pengetahuan aka asal-usul Islam bisa masuk dan bisa
berkembang di indonesia, juga bertujuan untuk memberikan pesan moral
kepada khalayak untuk tidak malu menjadi seorang yang beragama Islam dan
merasa bangga serta sadar akan bagaimana caranya untuk mencapai dan
menunaikan nilai-nilai Islam yang Kaffah.
BAB I
MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI INDONESIA
Kepulauan Melayu-Indonesia terletak di bagian
ujung dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh
dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografid ini sangat
penting jika orang mencoba memahami dan menjelaskan Islamisasi di
kawasan ini. Jauhnya Nusantara ini membuat proses Islamisasi ini berbeda
dengan Islamisasi yang terjadi di kawasan umat Islam lainnya di Timur
Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan. Berlawanan dengan wilayah-wilayah
seperti Persia dan India yang dalam banyak hal mengalami Islamisasi
setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat –
praktis tidak ada satu bagian dan kepulauan Melayu-Indonesia yang
mengalami Islamisasi seperti itu. Para sarjana dan peneliti tentang
proses kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara hamper bersepakat
dengan kenyataan bahwa Islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui
jalan damai dan tidak dengan ekspansi perluasan wilayah seperti
Islamisasi yang terjadi sebelumnya.
Mempertimbangakan hal diatas, masyarakat akan segera memahami
beberapa masalah yang dihadapi ketika mencoba menjelaskan dan memahami
Islam pada masa paling awal di Nusantara. Seperti yang kita tahu bahwa
Indonesia adalah sebuah bentuk Negara kepulauan yang terdiri dari
beragam suku dan kebudayaaan. Maka dari itu, pengisalaman di tiap-tiap
kawasan tidaklah sergam. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian dan
bagian yang lainnya bergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya,
tetapi juga bergantung pada watak dan budaya lokal masyarakat Indonesia
yang dihadapi oleh Islam. Sebagai contoh, di daerah pesisir yang umumnya
memiliki budaya maritim dan sangat terbuka terhadap kehidupan
kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah dan dalah
daripada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih
tertutup. Karena alasan ini, pengamat yang jeli akan melihat beberapa
perbedaan misalnya antara Islam Phanrang (yang berada di pesisir pusat
wilayah Champa), atau di Leran (yang berada di pesisir Utara Jawa
Timur), atau di Pasai (di Pesisir Utara Sumatera), atau di Malaka (yang
berada di Pesisir Barat semenanjung Malaya) dan Islam di Kerajaan
Mataram, Jawa Tengah, selama pengenalan-pengenalan Islam ke daerah
tersebut.
Untuk mengelaborasi lebih jauh, penduduk pesisir yang secara ekonomi
bergantung pada perdagangan Internasional, dalam satu atau lain hal,
cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang
Muslim yang sudah berada di Nusantara kurang lebih sejak abad ke 7 untuk
tetep mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan
masuk Islam, penguasa lokal pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan
perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga
pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi
perdagangan. Contoh kasus ini adalah konversi penguasa Malaka,
Parameswara, yang menerima Islam demi menarik para pedagang Muslim ke
Pelabuhannya yang baru dibangun. Jelas bahwa keragaman yang luar biasa
di Nusantara ini tidak hanya dalam hal distribusi Geografis penduduknya
saja, tetapi juga ekspresi Sosial Kultural, Ekonomi dan politik yang
tidak memungkinkan untuk merumuskan teori tunggal tentang Islamisasi
periodisasi umum untuk seluruh kawasan. Memaksakan teori atau
generalisasi yang berkaitan dengan Islamisasi Nusantara semacam itu
hanya akan berarti simplifikasi berlebihan atau bahkan distorsi terhadap
wacana histografi Islam di kawasan ini.
A. Teori Tentang Masuknya Islam ke Indonesia
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa
Islamisasi di Indonesia baik secara Historis maupun Sosiologis sangatlah
kompleks, terdapat banyak masalah mengenai sejarah dan perkembangan
awal Islam. Oleh karena itu para peneliti dan para cendekiawan sering
berbeda pendapat. Haruslah diakui bahwa penulisan sejarah Indonesia
diawali oleh golongan orientalis yang sering ada usaha untuk
meminimalisasi peran Islam., si samping para usaha cendekiawan Muslim
ynag ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai.
Yang kita tah sangatlah berbeda dengan islamisasi di kawasan Timur
Tengah yang di warnai ekspansi wilayah dan Pendudukan kekuasaan oleh
militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang,
kemudian dilanjutkan oleh para guru agama “da’I” dan para Sufi.
Orang yang terlibat dalam kegiatan da’wah yang pertama itu tidak
bertendensi apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa
pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan
sejarah atau prasati pribadi yang sengaja mereka buat untuk mengabdikan
peran mereka, ditambah lagi dengan wilayah Indonesia yang sangat luas
dengan perbedaan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, wajar kalaulah
terjadi perbedaan tentang kapan, dari mana, dan dimana pertama kali
Islam dating ke Nusantara. Namun secara garis besar perbedaan pendapat
itu dibagi menjadi berikut :
~ Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis
Belanda, diantaranya Snouck Hurgonje yang berpendapat bahwa Islam datang
ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi dari Gujarat (bukan dari Arab
langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam
pertama, Malik As-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang
dikatakan berasal dari Gujarat.
~ Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim,
diantaranya Prof. Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa
Islam sudah datang ke Indonesia di awal-awal abad hijriah ( kurang lebih
abad ke-7 sampai ke-8 masehi) langsung dari Arab dengan bukti jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh
sebelum abad ke-13 melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang
di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayah di Asia Barat.
~ Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan
kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya, memang benar Islam sudah
datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau pada abad ke 7-8 M,
tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di
pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan
mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan
Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad,
Ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan. Kehancuran Baghdad mengakibatkan
pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan kearah Asia Selatan,
Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Bersamaan dengan para pedagang, datang pula para da’i-da’i dan
musafir-musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat
berhubungan dengan pedagang dari negeri-negeri di ketiga bagian benua
Asia. Hal itu memungkinkan terjadinya hubungan timbale balik, sehingga
terbentuklah perkampungan masyarakat Muslim. Pertumbuhan perkampungan
ini makin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat ekonomis
tetapi mulai membentuk struktur kepemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu , Kepala Suku Kampung Samudera menjadi Sultan Malik As-Saleh.
Dari Paparan diatas, dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut :
1. Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran dari Islamisasi adalah melewati jalan
perdangan dengan melalui jalur pelayaran. Kesibukan lalu lintas
perdagangan pada abad ke-7 hingga ke -16 M, membuat para pedagang Muslim
(Arab,Persia,India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari
negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur Benua Asia. Saluran
Islamisasi melalui jalur perdagangan ini sangat menguntungkan karena
para raja dan bagsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan
mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tom Pires
mengenai saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan, Uka
Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak ynag
bermukim di Pesisir Pulau Jawa yang penduduknya kala itu masih
non-Muslim. Mereka berhasil mendirikan Mesjid-kmesjid dan mendatangkan
Ulama-ulama dari luar sehingga jumlah mereka semakin banyak, dan
karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya raya. Di
beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjadi bupati-bupati
Majapahit yang ditempatkan di Pesisir Utara Jawa banyak yang masuk
Islam, bukan hanya karena factor politik kerajaan majapahit yang pada
waktu itu sedang goyah, tetapi lebih kepada factor hubungan ekonomi
dengan para pedagang Muslim yang sangat erat. Dalam perkembangan
selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di
tempattempat tinggalnya.
2. Saluran Pernikahan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang
lebih baik dari pada kebanyakan pribumi yang kemudian pada
perkembangannya menarik perhatian para putrid-putri bangsawan untuk
menikahi para pedagang itu. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti
sosial, yaitu keluarga Muslim dan Masyarakat Muslim. Dengan pernikahan
itu, secara tidak langsung orang Muslim(pedagang) ntersebut status
sosial nya menjadi lebih tinggi di tambah dengan statu kebangsawanannya.
Lebih-lebih apabila pedagang besar menikah dengan para putri raja, maka
keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan,
syahbandar, qadi dll. Namun pada perkembangan berikutnya, ada pula para
wanita (pedagang) Muslim yang kemudian dinikahkan dengan putra-putra
bangsa.
3. Saluran Pendidikan
Setelah kedudukan para pedagang itu semakin mantap dan mempunyai
pengaruh, mereka melakukan Islamisasi dengan jalur pendidikan. Yang di
realisasikan dengan cara membuat pondo-pondok pesantren yang dipimpin
oleh para Ulama dan para Kiayi yang mengajarkan pendidikan agama Islam
kepada Santri-santri. Yang kemudian para santri itu pulang kedaerahnya
masing-masing untuk menyebarkan ilmu yang telah didapatnya di pesantren.
Namun pesantren pada waktu itu tidak hanya sebagai media untuk
pengajaran ilmu-ilmu agama Islam saja namun juga merupakan markas-markas
penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam
pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung
Djati dengan Syaikh Dzatu Kahfi dll.
4. Saluran Tasawuf
Telah disinggung diatas bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula
para Ulama, da’I dan para Sufi. Para Ulama dan para Sufi itu kemudian
pada perkembangan selanjutnya diangkat sebagai penasihat atau pejabat
agama di kerajaan. Pengajar-pengajar Tasawuf atau para sufi ini
mengajarkan teosofi yang sudah bercampur dengan ajaran yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat pada umumnya. Dengan tasawwuf bentuk Islam
yang yang diajarkan kepada penduduk pribumi sedikit mempunyai kesamaan
dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga ajaran mereka mudah untuk dipahami dan diterima. Diantara para
sufi tersebut ialah Hamzah Fanshuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin
ar-Raniri dll. Demikian juga kerajaan –kerajaan di jawa mempunyai
penasihat yang bergelar Wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
Para Sufi Menyebarkan islam melalui dua cara :
-
Dengan membentuk kader mubaligh, agar mampu mengajarkan serta
menyebarkan agama Islam didaerah asalnya. Dengan demikian Abdul Rauf Asy-Singkil
(salah seorang sufi) mempunyai murid yang kemudian menyebarkan Islam di
daerah asalnya, diantaranya Syaikh Burhanuddin Ulakan dan Syaikh Abd.
Muhyi Pamijahan dari Jawa Barat (Tasikmalaya); Sunan Giri mempunyai murid Sultan
Zaenul Abidin di Ternate; Dato Ri Bandang menyebarkan Islam ke Sulawesi,
Bima dan Buton; Khatib Sulaeman di Minangkabau mengembangkan Islam ke
Kalimantan Timur; Sunan Prapen (Ayahnya Sunan Giri) menyebarkan Islam ke
NTB
-
Melalui karya-karya tulis yang tersebar di berbagai tempat. Di abad
ke 17, Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis
para Ulama dan para Sufi. Hamzah Fanshuri menulis : “Ashrar al-‘Arifin fi Bayan ila as-Suluk wa at-Tauhid", juga syair perahu yang merupakan syair para sufi. Nuruddin ulama zaman Iskandar Tsani, menulis kitab hukum Islam Shirat al-Mustaqim.
5. Saluran Kesenian
Saluran yang paling banyak dipakai untuk penyebaran ajaran agama
Islam di Jawa adalah Kesenian. Kesenian pada zaman itu dipandang lebih
menarik karena masuk langsung ke unsure sosio kultur masyarakat jawa
pada waktu itu. Adapun jenis-jenis kesenian yang dipakai adalah berupa
Seni Arsitektur, Gamelan, Hikayat, Sastra dan yang paling terkenal
adalah Wayang. Tokoh yang paling terkenal dalam penyebaran agama Islam
melalui kesenian ini adalah Sunan Kalijaga. Beliau paling pandai
memainkan wayang sebagai metodenya dalam Kesenian. Cerita pewayangan
yang paling terkenal pada masa itu ialah cerita mengenai Mahabrata dan
Ramayana, yang dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan
Islam.
Melalui saluran-saluran itu Islam secara berangsur-angsur menyebar.
Penyebaran Islam di Indonesia secara kasar dibagi menjadi 3 tahap :
Pertama : Dimulai dengan kedatangan Islam yang diikuti oleh kemerosotan kemudian keruntuhan Majapahit pada abad ke-14 sampai 15 M.
Kedua : Sejak datang dan mapannya kekuasaan colonial Belanda hingga abad ke 19
Ketiga : Bermula pada abad ke-20 dengan
terjadinya “liberalisasi” kebijakan pemerintah colonial Belanda di
Indonesia. Dalam tahapan itu, akan terlihat proses Islamisasi sampai
mencapai tingkat seperti sekarang.
Pada tahap pertama, penyebaran masih relatif di daerah pelabuhan.
Tidak lama kemudian Islam mulai memasuki wilayah pesisir lainnaya dan
pedesaan. Pada tahap ini, pedagang, ulama-ulama tarekat (para wali)
dengan murid-murid mereka memegang peran penting. Mereka memperoleh
petronase dari penguasa lokal dan dalam banyak kasus, para penguasa
lokal juga berperan dalam penyebaran Islam. Islamisasi pada tahap ini
ditandai dengan aspek tasawuf, meskipun aspek hukum (syari’ah) juga
tidak diabaikan. Islam pada mulanya mendapatkan kubu-kubu terkuatnya di
kota-kota pelabuhan di pesisir jawa. Proses Islamisasi Nusantara berawal
dari kota-kota. Di perkotaan itu sendiri Islam adlah fenomena dari
Istana. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam
atas perlindungan resmi penguasa.
Tahap kedua, penyebaran Islam terjadi ketika VOC makin mantap
menjadi penguasa di Indonesia. Sebenarnya pada abad ke-17 baru
merupakan salah satu kekuatan yang ikut bersaing dalam kompetisi dagang
dan politik kerajaan Islam nusantara. Akan tetapi, pada abad ke-18 VOC
berhasil tampil sebagai pemegang hegemoni politik di Jawa dengan
terjadinya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang memecah Mataram menjadi 2 :
Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian tersebut menjadikan raja-raja Jawa
tidak memiliki wibawa karena kekuasaan-kekuasaan politik telah jatuh
ketangan penjajah, sehingga raja menjadi sangat tergantung kepada VOC.
Campur tangan VOC terhadap kerajaan makin luas termasuk masalah
keagamaan. Peran Ulama di kerajaan terpinggirkan. Oleh karena itu, ulama
keluar dari keratin dan mengadakan perlawanan sambil memobilisasi
petani membentuk pesantren dan melawan colonial seperti syaikh Yussuf
Al-Makassari.
Tahap ketiga terjadi pada awal ke 20, ketika terjadi
liberalisasi kebijakan pemerintah Belanda. Ketika Belanda mengalami
deficit yang tinggi akibat menanggulangi tiga perang besar (perang
Diponegoro, perang Padri, perang Aceh) yang kemudian diangkatlah Jendral
J. van Den Bosch sebagai gubernur yang kemudian mengeluarkan sistem
tanam paksa. Bersamaan dengan itu dilaksanakanlah upaya menjinakan Islam
yang pada saat itu tampil sebagai ancaman kekuasaan Belanda. Muncul di
dunia Internasional Islam Dinamika Islam berupa Kosmopolitanisme (rasa
satu dunia) yang mula-mula timbul di timur tengah yang kemudian
mengilhami munculnya dinamika Islam di Indonesia.
B. Perkembangan Islam di Nusantara
Islam di Nusantara merupakan salah satu dari tujuh
cabang peradaban Islam ( sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam
yang berpusat di Baghdad tahun 1258). Kebudayaan (peradaban) yang
disebut Arab Melayu yang tersebar di kawasan Asia Tenggara memiliki
cirri-ciri Universal yang menyebabkan peradaban itu tetap mempertahankan
bentuk integralitasnya, tetapi pada saat yang sama mempunyai
unsure-unsur yang khas kawasan itu. Kemunculan dan perkembangan Islam di
kawasan itu menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal.
Terjadinya transformasi dari sistem keagamaan lokal ke sistem keagamaan
Islam bisa disebut sebagai revolusi agama yang terjadi bersamaan dengan
“masa perdagangan”, masa ketika Asia Tenggara mempunyai posisi yang
diperhitungkan dalam perdagangan Timur-Barat. Masa ini mengantarkan
Masyarakat menuju internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme
kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada
sebelumnya.
Konversi missal masyarakat Nusantara kepada Islam ini terjadi karena sebab-sebab berikut :
-
Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam
datang, sistem kepercayaan lokal berpusat pada penyembahan arwah nenek
moyang yang tidak “portable” (siap pakai dimanapun dan berlaku
kapanpun). Oleh karena itu, para penganut kepercayaan itu tidak boleh
jauh dari lingkungannya, sebab kalau jauh mereka tidak akan mendapat
perlindungan dari arwah yang dipuja. Sementara itu, mereka yang karena
suatu alasan harus meninggalkan lingkungan arwah nenek moyang dan mulai
mencari sistem keimanan yang berlaku universal, sistem kepercayaan
kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan
dimanapun mereka berada. Sistem kepercayaan inilah yang mereka temukan
dalam Islam. Hasilnya, ketika wilayah Arab Melayu terekrut kedalam
perdagangan international, para pedagang Muslim Mancanegara meminkan
peranan penting mendorong konversi masal yang terjadi di kota-kota
pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi entitas politik muslim.
-
Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara
bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan,
mereka adalah pedagang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan
ekonominya, mereka bisa memainkan peranan pentingnya dalam bidang
politik entitas lokal dan bidang diplomatiknya.
-
Kejayaan militer, orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam
peperangan. Majapahit dipercaya dikalahkan para pejung Muslim yang tidak
bisa ditundukan secara magis.
-
Memperkenalkan tulisan. Agama Islam smemperkenalkan tulisan ke
berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal
tulisan, sedangkan sebagian yang lain sudah mengenal huruf sanskerta.
Pengenalan tulisan Arab memberikan kesempatan yang lebih besar untuk
mempunyai kemampuan membaca. Islam juga meletakan otoritas keilahian
pada kitab suci yang ditulis kedalam bahasa yang tidak dikuasai penduduk
lokal sehingga memperkuat bobot sakralitasnya.
-
Mengajarkan penghafalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas
sacral. Mereka membuat teks-teks yang ditulis untuk menyampaikan
kebenaran yang dapat dipahami dan dihapalkan. Hapalan menjadi sangat
penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan kepentingan
ibadah seperti Shalat.
-
Kepandaian dalam penyembuhan. Di Jawa terdapat legenda yang
mengkaitkan penyebaran Islam dengan epidemic yang melanda penduduk.
Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan
bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Raja Patani menjadi Muslim
setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang syaikh dari Pasai.
-
Pengajaran tentang moral dan kesetaraan sosial. Islam mengajarkan
keselamatan dari kekuatan jahat, memberikan solusi bagi berbagai masalah
dan memberikan ketentraman ruhani. Selain itu, islam juga mengajarkan
bahwa manusia semuanya dimata Allah adalah sama. Tidak ada yang lebih
special kecuali orang-orang yang bertakwa.
BAB II
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM NUSANTARA
A. SAMUDERA PASAI
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai.
Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai
kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M,
sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad-7, ke-8 M dan seterusnya.
Kerajaan tersebut dirajai oleh Malik Al-Shaleh dan juga merupakan
pendiri kerajaan Samudera Pasai. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai
disebutkan
bahwa gelar Malik Al-Shaleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau
Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail,
seorang utusan Syarif Mekah; yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik
Al-Shaleh. Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama Merah merupakan
gelar bangsawan yang ladzim di Sumatera Utara.
Dari hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa awal masuknya Islam di
Sumadera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan. Ada dua kota yang terletak
berseberangan di muara Sungai Peusangan yaitu Pasai dan Samudera. Kota
Pasai terletak lebih ke muara sedangkan kota Samudera yang terletak agak
lebih ke pedalaman. Peusangan ini adalah sebuah sungai yang cukup
panjang dan lebar disepanjang jalur pantai, memudahkan perahu-perahu dan
kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Dari
sinilah cikal bakal orang-orang melakukan perdagangan dari berbagai
negara, dan tidak sekedar berdagang para pedagang juga menyebarkan
agama.Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan
pusat studi Islam yang ramai. Ada pedagang dari India, Benggala Gujarat,
Arab, Cina serta daerah di sekitarnya banyak berdatangan di Samudera
Pasai. Samudera Pasai setelah pertahanannya kuat segera meluaskan
wilayah kekuasaannya ke berbagai daerah pedalaman yang meliputi Tamiang,
Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua
Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan dan Pasai.
Samudera Pasai pada waktu itu dilihat dari segi geografis dan social
ekonomi, merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara
pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India,
Cina dan Arab. Ia adalah pusat perdagangan yang sangat penting. Tome
Pires menceritakan bahwa di Pasai ada mata uang dirham. Adanya mata uang
tersebut menandakan bahwa kerajaan tersebut adalah kerajaan yang
makmur.
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524. Pada tahun
1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama
tiga tahun. Kemudian tahun 1524 M dianeksasi (penyatuan kembali daerah
yang sudah terpisah) oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya,
kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang
berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
B. Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan
Kabupaten Aceh Besar. Anas Machmud berpendapat bahwa Kerajaan Aceh
berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-pazuing kerajaan Lamuri, oleh
Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami
kemajuan dalam bidang perdagangan. Karena saudagar-saudagar Muslim yang
sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh,
setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan
Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa
utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda
dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian,
Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri.
"Menurut H. J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini
menjadi bagian wilayah Aceh. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan
penyatuhan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kama.
Dan beliau juga berpendapat bahwa raja yang pertama adalah Ali Mughayat
Syah".
Ali Mughayat Syah
meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang
bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M.
Dengan kemenangannya terhadap daerah tersebut, Aceh dengan mudahnya
meluaskan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untu mengatur
daerah-daerah tersebut, raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah
satunya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan
Serdang. Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin
Riayat
Syah yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia
menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Utsmani di Turki dan
negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Utsmani
tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Puncak
kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya aceh menguasai seluruh
pelabuhan di pesisir timur dan Barat Sumatera.dari
Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan juga Minangkabau kecuali
orang-orang Batak yang menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang.
Bahkan untuk menangkis kekuatan Islam pada masa itu, Batak minta bantuan
Portugis. Untuk mengalahkan Portugis, sultan kemudian menjalin kerja
sama dengan musuh Portugis yaitu Belanda dan Inggris. Ini adalah salah
satu cara atau yang dilakukan oleh Sultan Iskandar untuk menaklukkan
musuhnya.
C. Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya
posisi Raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada
pengusaha-pengusaha Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat
kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Wali Songo bersepakat
mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan
Islam pertama di Jawa. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya,
terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, Wali
Songo. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro. Pemerintahan Raden
Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim
keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya Sambrang Lora tau dikenal
dengan nama Pati Unus. Menurut Tome Pires, setelah naik tahta Pati Unus
melakukan serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak
ketika Malaka ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi,
sekitar 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan besar. Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh
Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia
memerintahkan pada tahun 1524-1546. Pada masa sultan ketiga inilah Islam
berkembang ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan.
Demak berhasil menundukkan:
-
Madiun, Blora (1530),
-
Surabaya (1531),
-
Pasuruan (1535),
-
Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri (antara tahun 1541-1542), dan
-
Kediri (1544).
Daerah Jawa tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging,
dan Pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, yaitu Syaikh Siti
Jenar dan Sunan Tembayat.
Pada tahun 1546, sultan Trenggono terbunuh lalu ia digantikan adiknya
Sunan Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama disebabkan
oleh pemberontakan yang dilakukan oleh adipati-adipati sekitar Demak.
Sunan Prawoto kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada
tahun 1549. Kerajaan Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan.
Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.
Usia kerajaan ini tidak panjang, kekuasaan dan kebesarannya kemudian
diambil alih oleh kerajaan Mataram.
D. Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika sultan Adiwijaya dari pajang
meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman
untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang tersebut.
Sebagai hadiah atasnya, sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram
kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di
Mataram. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah
Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di
Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun
ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir
menjelang keruntuhannya. Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif
lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat
dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem
persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur
bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas
administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
E. Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad ke-16,
Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan
Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan di
sana, bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai
hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon,
ia sudah menganut agama Islam. Akan tetapi, orang yang berhasil
meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif
Hidayat yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan
keponakan dari pangeran Walangsungsang. Dialah pendiri dinasti raja-raja
Cirebon dan dan kemudian juga Banten. Dari Cirebon, Sunan Gunung jati
mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kepala dan Banten.
F. Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajran. Rajannya
(Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk membendung
meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui Faletehan, Demak berhasil
menduduki Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon. Sejak saat itu, Banten
segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang
berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada
tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada
putranya, Hasanuddin. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin
(1552-1570), Banten berkembang cepat menjadi besar dan wilayah meluas
sampai ke Lampung, Bengkulu dan Palembang. Raja Banten pertama, sultan Hasanuddin mangkat pada tahun 1570 M dan
digantikan oleh putranya Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf memperluas
daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M kekuasaan kerajaan
Pajajaran dapat ditaklukan, ibu kotanya direbut dan rajanya tewas dalam
pertempuran. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mengalami puncak
kejayaan. Keadaan Banten aman dan tentram karena kehidupan masyarakatnya
diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya pembangunan kota, bidang
pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran irigasi. Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai
karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Perdagangan Cina, India,
Gujarat, Persia dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten.
Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem masyarakat
Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah
perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman. Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat,
terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah
peristiwa itu, putra sultan Maulana Yusuf yakni Maulana Muhammad yang
berusia sembilan tahun diangkat menjadi raja dengan perwalian
Mangkubumi. Dan perang saudara, antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar
Kerajaan Banten inilah yang menyebabkan kerajaan Banten mulai hancur
apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap dalam memimpin seperti
Maulana Yusuf.
BAB III
BAB III
MUNCULNYA RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA
Islam dalam sejarahnya acapkali melahirkan peperangan dan pertumpahan
darah. di mulai dari peristiwa Qabil dan habil, perebutan kekuasaan
pada masa sahabat, tabi’in dan mungkin hingga sekarang (tragedy bom
bali, semanggi, dan hotel ritz calton), label peperangan, pertumpahan
darah, kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan seakan-akan masih terpatri
kuat. Semua ini terjadi adalah akibat dari ulah oknum umat Islam yang
seenaknya dan semena-mena dalam memahami ajaran yang ada. Akibatnya
adalah stigma buruk yang dimunculkan masyarakat lain terhadap Islam.
Dari sekian banyak kasus yang melahirkan stigma buruk terhadap Islam,
hal ini tidak hanya disebabkan kesalah fahaman dalam memahami ajaran
agama, setidaknya terdapat dua faktor yang mempengaruhi munculnya
gerakan Radikalisme Islam di Indonesia.
Pertama, faktor internal. Dalam konteks ini, munculnya reaksi
kalangan Muslim, yang pada prakteknya tidak jarang menampakkan wajah
Islam yang “bengis”, intoleran disebabkan adanya pressing politik dari
pemerintah. Biasanya persoalan agama kalau sudah ditunggangi oleh
kepentingan politik dan kekeuasaan, agama tidak lagi menjadi sakral dan profane,
agama acapkali dijadikan alasan kebenaran untuk melampiaskan hawa
nafsu. Selain itu Islam sebagai sebuah tatanan nilai universal sering
tidak mendapatkan ruang cukup untuk berekspresi dalam bidang politik.
Bahkan dalam tataran tertentu termarjinalkan. Kondisi ini melahirkan
ironi, sebab Muslim merupakan mayoritas di negeri ini. Kekesalan ini
akhirnya membuncah dan mendapatkan momennya pada era reformasi. Seperti
disebut di atas, reaksi ini tidak jarang bersifat radik.
Kedua, faktor eksternal. Hal ini terkait dengan proses globalisasi.
Proses globalisasi meniscayakan adanya interaksi sosial-budaya dalam
skala yang luas. Dalam konteks ini, Islam sebagai tatanan nilai
dihadapkan dengan tatanan nilai-nilai modern, yang pada titik tertentu
bukan saja tidak selaras dengan nilai-nilai yang diusung Islam, tapi
juga berseberangan secara diametral. Akhirnya, proses interaksi global
ini menjadi sebuah kontestasi kekuatan, di mana satu sama lain saling
memengaruhi bahkan “meniadakan”.
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim memberikan reaksi yang
kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai Islam, seraya
memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkhis. Sikap sebagian Muslim
seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan
gerakan Radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang
dipahami sebagai aliran Islam garis keras di Indonesia. Dari pemaparan
singkat ini penulis mencoba membahas sedikit lebih dalam mengenai
radikalisme Islam di Indonesia yang mana akhir-akhir ini (pasca
reformasi) geliat gerakan radikalisem mulai marak dan bertebaran di
wilayah Indoensia. Yang menjadi inti dari pembahasan adalah faktor apa
yang mendorong mereka sangat bersemangat dalam “membela Tuhan”, yang
kalau ditelisk lebih dalam sebenarnya gerakan mereka belum tentu benar
menurut prespectif masyarakat Islam mayoritas. Dan juga hal apa yang
ingin menjadi tujuan dari gerakan mereka.
A. Sejarah Berkembangnya Radikalisme di Indonesia
Istilah radikalisme berasal dari bahasa latin radix, yang
artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau bisa juga secara
menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan.
sedangkan secara terminologi Radikalisme adalah aliran atau faham yang
radikal terhadap tatanan politik; paham atau aliran yang menuntut
perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras.
Perkembangan Islam di Indonesia pasca di sebarkan oleh para Wali Yu Allah, ke
depannya mengalami kemunduran dalam hal hidup berdampingan dengan penuh
kebersamaan ditengah-tengah perbedaan. Setidaknya hal ini dapat dilihat
dari awal masuknya Islam di Indonesia (Nusantara). Dalam lembaran
sejarah Islam di Indonesia, proses penyebaran agama tersebut terbilang
cukup lancar serta tidak menimbulkan konfrontasi dengan para pemeluk
agama sebelumnya. Setelah Islam makin kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, Islam
pun mulai meningkatkan perannya. Dari yang semula memerankan diri
sebagai basis pengembangan sistem kemasyarakatan, lambat-laun mulai
meningkatkan perannya ke areal politik melalui upaya untuk mendirikan
kerajaan Islam. Antara lain, kerajaan Pasai, Kerajaan Demak, Mataram,
dan Pajang. Namun, semua itu mengalami keruntuhan karena adanya berbagai
faktor, baik yang disebabkan oleh konflik internal di antara para
anggota keluarga kerajaan, maupun faktor eksternal seperti serbuan dari
para koloni seperti Portugis dan Belanda. Namun demikian, posisi Islam
tetap tak terpengaruh oleh berbagai dinamika sejarah tersebut, melainkan
tetap kukuh dan makin menyatu dengan kehidupan masyarakat. Singkat
kata, Islam di Indonesia hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang
ramah dan santun. Gejolak dan dinamika yang sifatnya radikal nyaris
tidak tampak. Namun seiring perjalanan waktu, Dalam konteks ke Indonesiaan dakwah
dan perkembangan Islam mengalami kemunduran dan penuh dengan penodaan.
Gejala kekerasan melalui gerakan radikalisme mulai bermunculan. Terlebih
setelah Kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke
Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air telah mengubah
konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras dan
tidak mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab atau Salafi-Wahabi yang saat ini menjadi ideologi
resmi pemerintah Arab Saudi. Padahal sebelumnya hampir semua para
pendatang Arab yang datang ke Asia Tenggara adalah penganut mazhab
Syafi’i yang penuh dengan teloransi. Kelak, ideologi ini melahirkan
tokoh semisal Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ja’far Umar Talib dan Habib
Rizieq Shihab yang dituduh sebagai penganut Islam garis keras.
Kemudian dalam catatan sejarah radikalisem Islam semakin menggeliat
pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo
memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). sebuah
gerakan politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan
sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan
tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan
Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto
sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen
melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa
bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan
berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam.
Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan
masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi
beberapa kelompok radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan
dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan media, khususnya media
elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih visible. Setelah
DI, muncul Komando Jihad (Komji) pada 1976 kemudian
meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia
melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner
Islam, 1978. tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi
gerakan yang beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M.
Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa
wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dll. Semangat yang dimunculkan
pun juga tidak luput dari persoalan politik. Persoalan politik memang
sering kali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal. Dalam
konteks Internasional, realitas politik standar ganda Amerika
Serikat (AS) dan sekutunya merupakan pemicu berkembangnya Radikalisme
Islam. Perkembangan ini semakin menguat setelah terjadinya tragedi WTC
pada 11 September 2001. mengenai tragedi ini AS dan sekutunya disamping
telah menuduh orang-orang Islam sebagai pelakunya juga telah mnyamakan
berbagai gerakan Islam militan dengan gerakan teroris. Selain itu, AS
dan aliansinya bukan hanya menghukum tertuduh pemboman WTC tanpa bukti,
yakni jaringan Al Qaeda serta rezim Taliban Afganistan yang menjadi
pelindungnya, tetapi juga melakukan operasi penumpasan terorisme yang
melebar ke banyak geraka Islam lain di beberapa Negara, termasuk
Indonesia. Realitas politik domestik maupun Internasional yang demikian
itu
dirasa telah menyudutkan Islam, di mana hal ini telah mendorong kalangan
Islam Fundamentalis untuk bereaksi keras dengan menampilkan diri
sebagai gerakan radikal, yang diantaranya menampilkan simbol-simbol
anti-AS dan sekutunya. Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim
memberikan reaksi yang kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan
nilai Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkhis.
Sikap sebagian Muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai
gerakan radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini kemudian menimbulkan
wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras di
Indonesia. Pada dasarnya, Istilah Radikalisme sebenarnya bukan merupakan
konsep
yang asing. Secara umum ada tiga kecenderungan yang menjadi indikasi
radikalisme.
Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi
yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak
dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang
bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan
terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain.
Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program
atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan
demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal mengandaikan
keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar. Ketiga adalah kuatnya
keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang
mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafian
kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan sosial, keyakinan
tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan
cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti
‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut
dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum
radikalis. Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa muncul dalam
agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan erat dengan
fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada
dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang
menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu.
Biasanya fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan
ketika kebebasan untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi
sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Mohammed Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai dua
tarikan berseberangan, yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan,
Islam selalu akan berada di tengahnya. Manusia tidak selalu paham
sungguh akan perkara itu. Bahwa fundamentalisme secara serampangan
dipahami bagian substansi ajaran Islam. Sementara fenomena politik dan
ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang
meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian juga dengan
memahami perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial
telah menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam
tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan
radikalisme selama ini hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental
dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari
persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam Indonesia merupakan
realitas tarikan berseberangan itu. Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam telah
makin membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi
gerakan-gerakan ini terkadang berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola
yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at
Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang
memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia:, disamping yang
memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun
beragam, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin
Indonesia dan Hizbut tahrir Indonesia sampai kepada gaya militer seperti
Laskar Jihad. Ketika kita melihat gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia, kita akan
banyak menemukan beberapa karakter yang sama baik cara, metode dan
model yang sering mereka lakukan. Baik itu gerakan yang baru ataupun
yang lama. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar gerakan-gerakan yang
diciptakan untuk merespon aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan
kehidupan sosial politik yang bisa mendatangkan konsekuensi religiusitas
tertentu. Hal ini bisa terjadi, menurut Amin Rais (1984), karena Islam
dari sejak kelahirannya bersifat Revolusioner seperti bisa dilihat
melalui sejarahnya. Revolusi adalah suatu pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang
dari suatu daerah atau negara terhadap keadaan yang ada, untuk
menciptakan peraturan dan tatanan yang diinginkan. Dengan kata lain,
revolusi menyiratkan pemberontakan terhadap keadaan yang menguasai,
bertujuan menegakkan keadaan yang lain. Karena itu ada dua penyebab
revolusi : (1) ketidak puasan dan kemarahan terhadap keadaan yang ada,
(2). Keinginan akan keadaan yang didambakan. Mengenali revolusi artinya
mengenali faktor-faktor penyebab ketidakpuasan dan ideal cita-cita
rakyat. Gerakan radikalisme yang muncul di Indonesia sebagian besar
adalah berangkat dari ketidak puasan dan adanya keinginan untuk
menjadikan atau menerapkan syariat Islam di Indonesia, bagi mereka,
terjadinya ketidak adilan, banyaknya korupsi, krisis yang berkepanjagan
dan ketidak harmonisan antara kaya dan miskin adalah akibat dari tidak
diterapkannya syariat Islam.
B. Faktor-Faktor Penyebab dan Indikasi Radikalisme
Banyaknya gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini
muncul karena adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab. Antara
lain :
1. Variabel Norma dan Ajaran. Ajaran yang ada
mempengaruhi tingkah laku dan tindakan seorang muslim yang berasal dari
Qur’an dan Hadis. (mungkin juga Ijma). Ajaran ini diinterpretasikan dan
diinternalisasi. Karan ajaran yang ada sangat umum, hal ini memungkinkan
munculnya beberapa interpretasi. Hal ini juga dimungkinkan karena
setiap anggota masyarakat muslim mengalami sosialisasi primer yang
berbeda, disamping pengalaman, pendidikan dan tingkatan ekonomi mereka
juga tidak sama. Dari hasil interpretasi ini memunuclkan apa yang
diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakt Islam.
2. Variabel sikap atau pemahaman mengenai tiga isu penerapan syariat Islam, bentuk negara Islam Indonesia dan Khalifah Islamiyah. Sikap
ini adalah kelanjutan dari penafsiran terhadap ajaran agama Islam.
Diasumsikan bahwa ada beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat
menafsirkan ajaran Islam. Sikap ini tersimbolkan dalam penerapan
pemahaman Muslim terhadap ajaran agama mereka. Dalam hal ini ada tiga
golongan : sekuler atau nisbi, substansialis dan skriptualis.
3. Variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial nyata dalam masyarakat.
Hal ini termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor domestik dan
Internasional. Hegomoni politik oleh negara atau represi yang dilakukan
oleh kelompok apapun terhadap umat Islam akan melahirkan respon yang
berbeda dari berbagai kelompok yang ada. Kalnagan nisbi sama sekali
tidak merspon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya
kelompok skriptualis yangdiasumsikan akan memperlihatkan sikap radikal.
Kelompok substansialis meskipun punya kepedulian terhadap Islam dan juga
umatnya dalam berbagai bidang, akan memperlihatkan sikap moderat.
Misalnya mereka akan kelihatan luwes baik mengenai negara Islam atau
Khilafah Islamiyah maupun mengenai (formalisasi) penerapan syriat Islam.
Secara umum ada tiga kecenderungan yang menjadi indikasi radikalisme. Pertama,
radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung,
biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau
bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi,
ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti
tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa
di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia
tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan
tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai
dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk
mengubah keadaan secara mendasar. Ketiga, adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran
program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama
dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam
gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering
dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan
nilai-nilai ideal seperti ‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan tetapi
kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional
di kalangan kaum radikalis. Radikalisme Islam Indonesia lahir dari
hasil persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna,
Sayyid Qutb, Al-Maududi, Muhammad Abu Bakar Bagdadi, Osama bin Laden (tewas) dan Ayman Al-Zawahiri, Abubakar Shekau, Abu Wardah alias Santoso, terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar
Indonesia yang belajar di Mesir dan Pakistan. Pemikiran mereka membangun
cara memahami Islam ala garis keras yang telah di pengaruhi oleh Raja Arab Saudi yang pertama, yaitu Ibnu Sa'ud bin Abdul Rahman bin Faisal (1876-1953 M). Setiap Islam yang Radik disuarakan oleh ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed (Salafi-Wahabi)., nama
mereka semakin melekat dalam ingatan, sperti Ibnu Tamiyah dan Albani. Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an
ikut menyemangati perkembangan komunitas usroh di banyak kampus atau
organisasi Islam oleh pengikut mereka.. Istilah radikalisme Islam kian menguat tak hanya pada
matra tekstualitas agama. Persentuhan dengan dunia kini, menuntut
adanya perluasan gerakan. Mulai dari sosial, ekonomi, pendidikan hingga
ranah politik.
Analisis
dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia
dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa
datangnya Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu
teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Teori Gujarat memandang
bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur
perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori
ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah
seorang penganutnya, W.F. Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk
ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada bukti batu nisan
sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada
tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur
perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Teori
Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara
masyarakat Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh
misalnya kesamaan konsep wahdatul wujud-nya
Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan
sebaliknya. T.W. Arnold, salah seorang penganutnya berargumen bahwa para
pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7
atau 8 juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat
itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib al-Attas melihat bahwa bukti
kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan karaktek Islam yang khas,
atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang
didasarkan pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu. Di
samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang memandang bahwa
datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut dengan
teori Cina.
Berdasarkan
paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk
ke Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah
berkembang pesat. Menurut catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan
kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam
225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh
Timur, Negeri Aceh.
Nama
Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia
kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai.
Namun demikian, nama Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan
Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses
berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera.
Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah
berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari
Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari
pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada
tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju
pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini
bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas
untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari
setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka
(Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong
memeluk Islam.
Perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda
Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum
Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang
berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di
Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula
bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai
bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah
keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara
kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim
ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih
berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan
pesaingnya.
Aliran
Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab,
dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan
dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh
pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi‘ah di pantai Sumatera
dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan
konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan
pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur
Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di
Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai
informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah
Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama
Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk
oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua
pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii,
sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali
Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat
anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi‘ah.
Aliran
Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan
sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia
meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum
Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa
pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian
memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika
pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan
Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun
waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak
yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7,
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal,
terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang
lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya
itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin
Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin
oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 –
1023).
Kedua
kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin
kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah
meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan
Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya
kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak
Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan
Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum
ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar
kedua aliran tersebut.
2. Silsilah
Sebelum
berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada
rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja
Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama
sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
- 18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti
Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang
merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
3. Periode Pemerintahan
Sultan
Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri
tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala
dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah
(Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan
Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan
Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan
Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan
Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik
al-Saleh.
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum
bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan
Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan
ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di
wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak,
yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam
inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia
tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut
juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan
mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak
pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan
tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal
sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model
pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi
dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang.
Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara
menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja,
pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap
perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
==========================)=>^~|..Islam Nusantara..|~^<=(=======================
===================================================================
( Thareqat Syattariyah Wal Jamaah Ansor )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar