Selasa, 01 Desember 2015

SEJARAH THAREQAT KHALWATIYAH






Umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil
dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.

Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).

Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).

Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas. Menurut salah satu bukunya, al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah mengalami hidup sebatang kara. Pada waktu kecil, tepatnya ketika berumur dua tahun, Ayah dan ibunya sempat bercerai. Ia kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. Al-Bakri juga menyatakan, secara geneologis, ayahnya masih memiliki nasab sampai kepada Khalifah Abu Bakar r.a. Sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya sampai cucu Rasulullah SAW, al-Husein, putra Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Hidup al-Bakri suka sekali berkeliling, terutama ke negeri-negeri yang ada di kawasan Timur Tengah. Hal itu dilakukannya tak lain guna menambah wawasan dan pengetahuan, dan belajar pada guru-guru yang dianggapnya memiliki ilmu tinggi. Dari Damaskus, kampung halamannya, ia pergi ke kota Quds di Palestina, kemudian ke Tripoli (Libanon Utara), ke kota Akka dan kemudian singgah di kota Sidon atau Shaida. Setelah menikah dengan sepupunya tahun 1141 H, ia melanjutnya perjalanannya ke Mekkah Al-Mukarramah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak melakukan kontemplasi untuk memperdalam pengalaman batinnya.

Setelah tinggal beberapa lama di Mekkah, ia melanjutkan perjalannya ke Mesir. Kemudian kembali ke Quds dan Irak (Baghdad dan Basrah). Tak lama, ia kembali pergi ke Mekkah untuk berhaji yang terakhir kalinya. Tahun 1161 H, ia pergi ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya (1162 H).

Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang diambil dari gurunya, Syekh Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi. Tarekat Khalwatiyah nampaknya telah banyak memberi pengaruh pada pemikiran maupun amaliyah al-Bakri sehari-hari. Sehingga dari sekitar 200 karya al-Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah praktis.

Ajaran dan Dzikir Tarekat Khalwatiyah
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.

Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.

Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun guncangan jiwa lainnya.

Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah.

Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan keridlaan-Nya.

Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.

Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53: “Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”.

Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”.

Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya”.

Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”.

Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”.

Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar