Minggu, 06 Desember 2015

PEREDARAN BULAN dan MATAHARI (HILAL)











A. Ilmu hisab adalah alat bantu rukyat.


Setelah kami telusuri mereka yang menetapkan awal bulan kamariah dengan menggunakan ilmu hisab (perhitungan) sebagai “hisab hakiki wujudul hilal” (berapapun derajat positif tinggi hilal maka ditetapkan “hilal sudah wujud”) mengemukakan hasil ijtihad (wajh al-istidlal ) mereka sebagai berikut:


***** awal kutipan *****

Dalam penentuan awal bulan kamariah, hisab sama kedudukannya dengan rukyat [Putusan Tarjih XXVI, 2003]. Oleh karena itu penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah adalah sah dan sesuai dengan Sunnah Nabi saw. Dasar syar‘i penggunaan hisab adalah:

a . Al-Quran surat ar-Rahm±n ayat 5:
Artinya:Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan (ar-Rahm±n (55) : 5).

b. Al-Quran surat Y−nus ayat 5
Artinya:Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (Yunus (10) : 185).

c. Hadis al-Bukhari dan Muslim
Artinya:Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].

d. Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw,
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhari dan Muslim].


Cara memahaminya (wajh al-istidlal nya) adalah bahwa pada surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda benda langit itu, khususnya matahari dan Bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda benda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Penciptanya, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh ayat 5 surat Yunus (… agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu). Pada zamannya, Nabi saw dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pada butir c di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat dipahami dalam hadis pada butir d di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi.


1.  Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal (bulan) secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. Sesuai dengan kaidah fikih (al-qawa‘id al-fiqhiyyah) yang artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat dan sebabnya   maka ketika ‘illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah.



***** akhir kutipan *****


Dari uraian mereka dapat kita ketahui bahwa mereka dengan ilmu hisab membatalkan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk melihat hilal (rukyatul hilal) dikarenakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat pada masanya dalam keadaan ummi dan tidak bisa melakukan hisab (perhitungan) ?
Dengan kata lain berdasarkan cara mereka mempergunakan ilmu hisab (astronomi) maka sama saja mereka mengatakan bahwa  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat pernah melakukan kesalahan karena terlambat mengawali puasa Ramadhan dan pernah berpuasa Ramadhan pada 1 Syawal karena antara hilal dapat terlihat oleh mata manusia  dengan “hilal sudah wujud” menurut ilmu hisab (astronomi) ada perbedaan yang signifikan (perbedaan nyata).  Perlu kita ingat bahwa “hilal sudah wujud” belum tentu dapat terlihat oleh mata manusia. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam urusan ummat atau urusan agama akan terjaga dari kesalahan. Mereka tampak salah memahami hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya (menurut mereka) “Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridul-fitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].


Dari hadits ini maka ilmu hisab (astronomi) digunakan sebagai alat bantu  (alat estimasi) untuk melihat hilal dan menghilangkan batasan “terhalang oleh awan”. Ilmu hisab (perhitungan) adalah sebagai alat bantu untuk merukyat (melihat hilal).  Kita dapat menggunakan ilmu hisab (perhitungan) untuk mengetahui posisi dan ketinggian Hilal. Begitu pula lamanya hilal di atas atau di bawah ufuk itu bisa diketahui dengan ilmu hisab. Adapun lamanya hilal di atas ufuk hanya sekitar beberapa menit atau detik saja, tergantung hilalnya.

Kyai Thobary Syadzily mengatakan: “Ilmu hisab itu ibarat alamat lengkap seseorang, sedangkan rukyat itu ibaratnya rumahnya. Bagaimana kita bisa menemukan rumah seseorang kalau tanpa adanya alamat jelas“.


Jadi ilmu hisab (perhitungan) digunakan untuk mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk “melihat hilal” dengan mensimulasikan keadaan bagaimana “hilal terlihat” oleh mata manusia atau yang disebut kriteria visibilitas hilal atau imkanur rukyat. Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata yang dapat dikatakan “hilal terlihat”. Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada tahun 1996. Bahkan berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria visibilitas hilal (hilal terlihat) yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal.  Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut:


Pertama, umur hilal minimum 8 jam.

Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.


Kesimpulan akhir adalah kita harus tetap mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk “melihat hilal” dan mempergunakan ilmu hisab (astronomi) atau ilmu-ilmu lainnya yang akan ditemukan pada masa depan untuk dapat mensimulasikan keadaan “hilal terlihat” yang disebut kriteria visibilitas hilal (imkanur rukyat). Jadi kebutuhan untuk mempersatukan umat Islam guna mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk “melihal hilal” atau alat bantu “melihat hilal” lebih awal dari waktu sesungguhnya adalah menetapkan kriteria visibilitas hilal (imkanur rukyat) untuk mensimulasikan (mengestimasikan) keadaan “hilal terlihat”  bukan “hilal sudah wujud”.




B. Masalah Hilal Menurut Habib Usman Bin Yahya.


Sekalipun Sayid Usman mengakui bahwa cara terbaik dalam menentukan permulaan bulan adalah dengan melihat langsung (ru`yah), tetapi ia tidak menolak perhitungan (hisâb) yang dilakukan oleh seseorang. Tetapi bagi Sayid Usman, “orang yang disebut hâsib adalah jika ia telah matang pelajarannya dan mujarrab (manjur) hisabnya sesuai dengan kedudukan bulan di manzilah-nya. Inilah yang disebut dengan hisâb yang qath’i (pasti). Hâsib sepert ini boleh berpuasa dengan hisâbnya. Jika hisâbnya mengatakan mustahil ru`yah, maka tertolaklah saksi-saksi yang adil yang mengaku telah melihat bulan”. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh menghitung permulaan bulan tanpa memiliki persyaratan keilmuan yang dibutuhkan. Hal ini dapat kita lihat dari masukan Sayid Usman kepada para hakim dan mufti, bahwa “itsbât yang benar adalah itsbât yang syarat-syaratnya terpenuhi; sebaliknya itsbât yang batal adalah yang syarat-syaratnya tidak dipenuhi. Perbedaan dalam menentukan permulaan bulan puasa atau lebaran dalam suatu daerah juga sangat diperhatikan Sayid Usman. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa “jika hal itu disebabkan karena suatu daerah dapat melihat bulan tanpa ada yang menghalangi pandangannya, sedangkan daerah lain tidak dapat melihat bulan karena ada yang menghalanginya, maka kedua-duanya sah puasa dan lebarannya karena telah mengikuti aturan agama. Oleh karena itu kedua pihak satu sama lain tidak boleh saling menyalahkan atau saling menyuruh untuk ikut ke dalam pendapatnya.




C. Tafakur Rekor Melihat Hilal.


REKOR melihat hilal paling tipis bukan dilakukan oleh para perukyat hilal yang muslim, melainkan oleh para Astrofotografer non muslim. Motivasi mereka, tentu saja bukan untuk menjadi ‘petugas rukyat’ yang andal dalam menetapkan awal bulan Ramadan atau Syawal, melainkan karena menerima tantangan untuk memecahkan rekor dalam ajang Astrofotografi dunia. Adalah Thierry Legault, Astrofotografer asal Perancis yang berhasil memotret bulan sabit tertipis dalam sejarah manusia. Ia memotret bulan sabit itu pada tanggal 8 Juli 2013 baru lalu, persis saat bulan sedang beralih dari Syakban menuju Ramadan. Yakni, di sekitar pk. 07:14 GMT. Sedangkan Astrofotografer lainnya adalah Martin Elsässer dari Jerman. Agaknya bukan sebuah kebetulan, Legault memecahkan rekor di saat-saat umat Islam seluruh dunia sedang ‘heboh’ menetapkan awal bulan suci Ramadan. Karena dalam website-nya, ia menuliskan keterangan bahwa peralihan posisi bulan itu adalah penanda datangnya bulan suci Ramadan bagi umat Islam. Yang pasti, dia tahu bahwa saat-saat seperti itu adalah momen kontroversial. Di sejumlah negara, ada yang menetapkan tanggal 9 Juli 2013 sebagai awal Ramadan, dan lainnya menetapkan pada tanggal 10 Juli 2013, dengan alasan hilal tidak terlihat. Maka, tantangan memecahkan rekor pun dimulai. Bukan membuktikan hilal di sekitar matahari tenggelam, melainkan di sekitar peristiwa konjungsi alias ijtimak. Kenapa tidak di sekitar matahari tenggelam? Bagi seorang fotografer profesional, saat-saat menjelang maghrib itu kurang menantang, karena cuaca sudah mulai meredup. Apalagi, jika usia hilal sudah beberapa jam, pasti akan dengan mudah tertangkap oleh kamera mereka dari tempat yang tepat. Yang paling menantang justru adalah di sekitar konjungsi atau ijtimak, yang terjadi di pagi atau siang hari. Saat itu, cahaya matahari masih sedemikian kuatnya. Sehingga cahaya latar langit di sekitar hilal itu sedemikian tingginya. Diinformasikan oleh Legault, cahaya latar di langit pada waktu itu sekitar 400 kali dibanding cahaya obyek (hilal), jika dilihat dalam parameter inframerah. Atau, sekitar 1000 kali obyek jika dilihat dalam parameter cahaya tampak. Tentu, ini tidak akan bisa diamati dengan menggunakan mata telanjang. Karena, pasti sangat menyilaukan mata kita.
Tetapi, justru disitulah tantangannya. Dengan menggunakan sistem peralatan fotografinya, Legault berhasil mengabadikan hilal super tipis – hampir nol – yang hanya berusia beberapa menit setelah konjungsi. Berbeda dengan hilal sore hari yang ‘telentang’, bentuk sabit yang dipotretnya ‘telungkup’ karena pemotretannya dilakukan pada pagi hari, dimana posisi semu matahari berada di atas bulan.


     Karya fenomenal ini, tentu saja sangat menarik perhatian kita. Khususnya, karena tahun ini terjadi perbedaan penetapan awal bulan Ramadan antara penganut hisab dan rukyat di Indonesia. Para penganut hisab meyakini awal Ramadan jatuh pada 9 Juli 2013 lewat perhitungan, sedangkan penganut rukyat menetapkan 10 Juli 2013 dengan alasan hilal tidak kelihatan di tanggal 8 Juli 2013. Secara empiris, karya Legault ini telah mematahkan Imkan Rukyat yang memasang kriteria 2 derajat dan usia bulan 8 jam agar bisa dilihat mata. Dengan sederhana Legault telah membuktikan bahwa usia hilal yang beberapa menit pun sudah bisa dipotret. Yang jika diterjemahkan ke dalam ketinggian hilal di atas horison, sudah hampir nol derajat. Dan kalau dikonkretkan lebih jauh, bisa menjadi sebuah simulasi ijtimak  menjelang maghrib, sebagai penanda datangnya Ramadan. Atau, dalam istilah rukyat bil ‘ilmi dikenal sebagai Ijtimak Qablal Ghurub (IQG). Tanpa harus berpikir kalah dan menang antara pihak-pihak yang berkontroversi, kabar ini tentu sangat menggembirakan bagi umat Islam. Dan diharapkan akan menjadi jalan untuk mendekatkan hasil hisab dan rukyat. Tentu saja, jika para pengguna metode rukyat cukup berbesar hati menggunakan teknologi ini. Misalnya, tahun depan pemerintah Indonesia mengundang Thierry Legault dan sejumlah Astrofotografer untuk datang ke Indonesia, dan meminta mereka menjadi bagian dari tim rukyat. Tugasnya adalah membuktikan apakah hilal memang bisa dilihat dan dipotret  jika ketinggiannya di bawah 2 derajat saat usianya di bawah 8 jam. Atau, sebenarnya, boleh juga rukyatul hilal itu dilakukan di luar bulan Ramadan sebagai uji coba. Kebetulan, tahun 2014 ijtimak bulan Syakban akan terjadi pada 27 Juni, pk.15:09 wib. Dan maghribnya pk. 17.48 wib. Jadi usia hilal tidak akan sampai 3 jam, dengan ketinggian hanya sekitar 0,5 derajat di atas horison. Sudah pasti tidak akan kelihatan oleh mata telanjang, dikarenakan lemahnya cahaya hilal yang sangat tipis. Tetapi, akan cukup kelihatan dan bisa diabadikan dalam bentuk foto atau video, jika menggunakan teknologi mereka. Logikanya, kalau memotret hilal beberapa menit setelah ijtimak saja bisa, apalagi memotret hilal yang sudah berusia beberapa jam. Itupun, dalam suasana langit yang sudah jauh lebih redup dibandingkan siang hari seperti yang terjadi tanggal 8 Juli 2013 tersebut. Tentu, akan jauh lebih mudah. Fakta ini benar-benar sangat menggembirakan dan memberikan harapan yang besar untuk menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut di Indonesia, yang mana sudah tidak kelihatan ujung pangkalnya.


     Jika ini bisa dilakukan, maka hasil perhitungan dan hasil rukyat akan bertemu di titik yang sama. Dan ini menjadi tafsir yang holistik dari ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang al ahillah (hilal-hilal) sebagai penanda waktu. QS. Al Baqarah (2): 189. ‘’Mereka bertanya kepadamu tentang al ahillah (hilal-hilal). Katakanlah: hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…’’
Sungguh menarik, di dalam Al Qur’an Allah tidak pernah menyebut bulan sabit dalam bentuk tunggal al hilal, melainkan dalam bentuk jamak ‘al ahillah’, untuk menjadi pedoman bagi perhitungan penanggalan hijriyah. Ini menunjukkan umat Islam dimotivasi untuk memahami pergerakan bulan secara utuh, sejak sesaat setelah konjungsi sampai konjungsi kembali, dimana bulan akan berdinamika menjadi hilal-hilal dalam berbagai fasenya. Dan karenanya, fase-fase bulan sabit itu bisa digunakan untuk menetapkan kalender yang valid dan berlaku untuk semua, seperti halnya menetapkan waktu-waktu shalat. Tidak ada bedanya lagi antara hisab dan rukyat..!!!



Akhirnya, saya berharap Ramadan kali ini kita betul-betul memperoleh pelajaran berharga dari perbedaan penetapan awal Ramadan. Allah telah menunjukkan ayat-ayat-Nya di alam semesta, dengan memunculkan karya Thierry Legault sebagai pembelajaran bersama. Saya berharap akan bermunculan para Astrofotografer lokal dan muslim, sehingga tahun depan kita tidak harus mengundang Legault dan kawan-kawannya untuk mengajari kita melakukan rukyatul hilal di Indonesia. Karena, memang seharusnya itu bisa dilakukan oleh orang-orang kita sendiri. Man jadda fa wajada – barangsiapa berusaha sungguh-sungguh, insya Allah dia bakal memperolehnya. Wallahu a’lam bissawab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar